Sabtu, 31 Desember 2011

KIAI MUJAHID DITEMBAK DENGAN PISTOL SENDIRI


DI/TII telah diputuskan menjadi kelompok yang melakukan bughat (makar). Maka harus diperangi karena hendak mendirikan negara di atas negara yang sah. Selain itu, gerombolan yang dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo ini sering menggelisahkan masyarakat. Mereka sering masuk kampung dan mengambil paksa harta masyarakat. Membuat  banyak masyarakat Buntet Pesantren yang merasa tercekam ketakutan. Untuk melindungi masyarakat, dibuatlah penjagaan oleh masyarakat dengan nama “pagar betis” selain itu DI/ TII juga sering merusak fasilitas umum milik negara.
Seperti yang terjadi pada saat Kiai Mujahid Anwar ditembak. Peristiwa itu bermula dari sebuah berita yang diterima oleh Kiai Mujahid Anwar bahwa pada jam sembilanan DI/TII akan turun ke Sumber. Mendengar berita demikian, Kiai Mujahid sebagai Camat Sumber, langsung pagi-pagi turun ke Sumber, maksudnya untuk mengamankan wilayah Sumber terutama Rumah Sakit Paru Sidawangi Sumber.
Dan benar dugaannya. Belum jam sembilan DI sudah banyak berada didaerah Sumber dan bergerak menuju arah ke Sidawangi. Kiai Mujahid mencoba untuk menghentikan pergerakan mereka. Namun kekuatan mereka lebih banyak. Kiai Muajhid tidak dapat berbuat banyak. Konon menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Kiai Mujahid pada saat itu dikepung oleh beberapa anggota DI karena Kiai Mujahid memakai pakaian dinas kecamatan. Saat itu pula terjadi adu mulut dan baku hantam. Konon Kiai Mujahid ditembak oleh anggota DI berkali-kali namun tidak apa-apa. Sementara tembakan Kiai Mujahid yang diarahkan kepada anggota DI dapat  melukai beberapa anggota DI. Ahirnya ada beberapa anggota DI yang berinsiatif merebut senjata milik Kiai Mujahid. Kiai Mujahid dengan segala kemampuan mempertahankan senjata tersebut. Namun karena kekuatan kalah banyak ahirnya senjata yang berupa pistol itu berhasil direbut oleh DI dan ditembakkan ke arah Kiai Mujahid. Dan karena tembakan itulah Kiai Mujahid ahirnya meninggal dunia.



Senin, 07 November 2011

SAYA DISURUH MEMBAWA BAKYAK KIAI ABBAS




Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu
Pengawal Kiai Abbas Waktu Perang
10 November 1945  di Surabaya


Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi  Keamanan mendarat di berbagai kota besar  di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari  perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHUAKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang  yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai dating, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah.kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rewmbang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka  yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bamboo runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempoat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yanag ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakyak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah  rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu –serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah  sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidaka lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk  menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada kelaurga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat  karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yanag bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.



BUNTET PESANTREN GAGAL KENA FITNAH





   Pondok Buntet Pesantren selalu menggelorakan peperangan terhadap penjajah Belanda. Hal itu jelas sekali dilakukan dari zaman Kiai Muqayyim sampai zaman Kiai Abbas. Artinya Buntet Pesantren jelas-jelas merupakan salah satu pesantren tua di Jawa Barat yang ikut serta meletakkan pondasi-pondasi negara ini. Maka siapapun dan apapun yang hendak mengacaukan negara ini pasti berhadapan juga dengan Buntet Pesantren hususnya dan pesantren pada umumnya. Komitmen pesantren terhadap nasionalisme akan selalu tangguh dan tetap, tak lekang dimakan oleh zaman dan keadaan. Membela negara kesatuan republik Indonesia adalah keputusan ahir dan mutlak. Tidak bisa ditawar lagi.
   Tapi komitmen Pondok Buntet Pesantren yang begitu tulus dan telah dibuktikan melalui sejarah perjuangannya,  masih saja ada pihak-pihak yang tidak percaya bahkan hendak memfitnah Buntet Pesantren. Untung Allah SWT menampakkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Ketika DI/TII mengadakan pemberontakan dan hendak mendirikan negara di wilayah Negara Republik Indonesia, Buntet Pesanatren termasuk pesantren yang menentang DI/TII dan harus diperangi karena dihukumi Bughat (makar), karena mereka akan mendirikan negara di atas negara yang sah. Namun komitmen Buntet Pesantren tersebut tidak sepenuhnya dipercayai oleh pihak luar. Bahkan sempat ada yang hendak memfitnah Pondok Buntet Pesanatren. Berkat kelincahan dan kepandaian para kiai, Buntet Pesantren menjadi selamat.
   Konon saat itu, menurut Kiai Zaini Dahlan, terdengar di Buntet Pesantren akan ada TNI yang akan melakukan sweeping karena diduga di Buntet Pesanatren banyak anggota DI/TII. Kiai Mustahdi dan  para kiai Buntet Pesantren lainnya menduga bahwa sweeping akan dilakukan oleh TNI yang tidak senang pada Buntet Pesantren. Itu hanya akal-akalan saja. Tapi para kiai bersepakat untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Demikian Kiai Hasyim Anwar menjelaskan kepada para pemuda Buntet Pesanatren.
   Penjelasan ini sengaja diberikan kepada para pemuda mantan tentara Hizbullah, karena menurut perkiraan Kiai Hasyim, agar tidak terjadi apa-apa di Buntet Pesantren perlu para pemuda mantan tentara hizbullah diberitahu untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Selain itu, sebelum subuh para pemuda tersebut sudah harus diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren.
   Maka pada saat sebelum subuh, para pemuda Buntet Pesantren diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren dengan beberapa kendaraan bak terbuka. Namun ternyata ada seorang pemuda mantan tentara Hizbullah yang tidak terangkut, yaitu Zaini Dahlan. Menurut Kiai Zaini Dahlan, dirinya semalaman tidur di masjid, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Begitupun ketika ia bangun lalu salat subuh, tidak ada yang mengingatkan bahwa dirinya sebagai pemuda Buntet Pesantren harus ke luar dari Buntet Pesantren. Selain itu, diakui oleh Kiai Zaini bahwa dirinya saat itu sangat ngantuk sekali, maka ketika selesai melakukan salat subuh, langsung tidur kembali di masjid.
   Sekira  pukul delapan pagi, Kiai Zaini terbangun dari tidurnya karena dikejutkan oleh suara gaduh di masjid. Ternyata personel TNI yang masuk ke masjid dengan tanpa membuka sepatu dan menendangi beberapa bangku yang biasa untuk membaca alQur’an, bahkan alQur’anpun banyak yang ditendangi dan diinjak-injak. Darah muda Kiai Zaini menggelora. “Kalau saja tidak ingat pesan Kang Asim (Kiai Hasyim Anwar- mantan komandan Hizbullah) pasti sudah saya lawan. Ukuran enam tujuh orang sih pasti bisa”, tutur Kiai Zaini saat bercerita pada penulis. Karena ingat pesan Kiai Hasyim Anwar, ahirnya Kiai Zaini tetap berada di masjid dan pura-pura tidur lelap.
   Selepas dzuhur, setelah situasi kembali seperti biasa dan pemuda Buntet Pesantren juga sudah kembali ke Buntet Pesantren, Kiai Zaini menceritakan kejadian di masjid yang baru saja ia lihat pada Kiai Hasyim. Kiai Zaini pun tak lupa menanyakan kenapa tentara yang jumlahnya hanya beberapa saja tidak boleh dilawan. Padahal mereka sudah kurang ajar. Masuk ke masjid tanpa membuka sepatu, selain itu juga merusak dan menendangi fasilitas masjid.
   Mendapat pertanyaan seperti itu, Kiai Hasyim memohon pengertian Kiai Zaini. “Kita sudah menduga bahwa mereka akan melakukan hal-hal yang membuat kita marah. Karena memang meraka sedang menjebak kita. Bila kita marah dan melakukan suatu tindakan kepada mereka (TNI), mereka pasti akan melaporkan kepada atasannya bahwa  Buntet Pesantren pusatnya DI/TII. Buktinya beberapa porsenel tentara yang sedang sweeping DI/TII di serang”, jelas Kiai Hasyim. “ Nah kalau ini terjadi, pasti Buntet Pesantren akan diserang habis-habisan”, tambah Kiai Hasyim.
Mendengar penjelasan Kiai Hasyim, Kiai Zaini Dahlan menjadi faham dan ia sangat beruntung dapat menahan diri tidak melawan tentara-tentara tersebut. Bila saja melawan, pasti berbahaya akibatanya.
   Kecurigaan pihak luar terhadap Pondok Buntet Pesantren mulai mereda, sejak salah seorang kiai dari Buntet Pesantren yaitu Kiai Mujahid Anwar  (kakak Kiai Hasyim Anwar) meninggal dunia karena baku tembak dengan DI/TII di Sumber Cirebon.

Rabu, 19 Oktober 2011

PENCITRAAN ALIRAN SESAT PERLU AKADEMISI



Belakangan ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon sangat meminati informasi tentang aliran-aliran yang dianggap sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Mullah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga wahidiyah, dan lairan-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita.
Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah  pemerintah, baik pemerintah di tingkat paling bawah mapun pada tingkatan yang lebih tinggi, alasannya untuk menanggulangi keresahan masyarakat. Dan langkah tersebut selalu mendapat apresiasi positif dari masyarakat.  Kecepatan langkah  pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan.
Selain pemerintah, yang tak kalah cepat bertindak adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah   gerakan massa.
Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majlis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tungalnya,  MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan  fatwa (keputusan hokum). Organisasi ini memang  sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa.
Departemen Agama sendiri, sebagai lembaga yang semestinya mempunyai kepentingan yang lebih tinggi, biasanya bertindak dengan terlebih dahulu melihat gelagat. Bertindak lebih hati-hati atau malah dengan rasa takut. Terkesan mencari aman, dan sering menampilkan sikap yang seumumnya.  Yang aneh lagi, kadang semua elemen melakukan lankah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah,  malah mengkroyok (justifikasi).
Dari berbagai penangan kasus yang dilakukan dengan cara-cara tersebut, selain kadang menimbulkan sikap anarkis, juga penyelasaiannya tidak mengakar dan mendalam. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena   parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi.
Perlindungan Hukum
Beragama, secara normative merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normative ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesemptan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah.
Hak-hak itulah yang selama ini tampak tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan”  atau “membela Tuhan”.
Indonesia sebagai Negara agamis, karena semua warganya wajib beragama, harus menyudahi cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran  hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam undang-undang dasar kita. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hokum positif)
Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sebagai contoh kasus aliran sesat Surga Adn. Hampir sebagian besar informasi, lebih dikedepankan pendapat orang-orang yang kontra dengan Pak. Tantowi. Pak Tantowi sendiri tampak tak diberi porsi yang sama untuk menjelaskan sikap-sikapnya selama ini.
Oleh karenanya, masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsure intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekpresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hokum, terutama praduga tak beraslah, juga sistem hokum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat.
Selama ini, para penganut aliran sesat, seakan orang yang salah sebelum ketuk palu dijatuhkan. Rumahnya dirusak. Orangnya ditempeleng bahkan ada sebagian yang mengusir dan merobohkan tempat ibadahnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hokum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Marah, merusak adalah bukan tindakan hokum. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hokum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar.
Libatkan Akademisi
Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu menyudahi dengan cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk  menghukumi suatu aliran dengan meberikan keputusan hokum. Semua harus berdasarkan hokum yang berlaku. (hokum positif)
Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan pada pengadilan, saya kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akdemisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik.
Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyekytif dan komrehensif.
Selain itu, karena obyektyifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan sesat dan tidak sesat. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologism, epistimlogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau toh ahirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas.
Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat lebih mendalam dan komprehensip. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensip. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anrkis.
Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan saya optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki.


Penulis: Guru Agama Islam SMP Negeri 12 Kota Cirebon.



MEMPERTEGAS PERAN WAKIL KEPALA SEKOLAH

           Dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D. tentang Kepemimpinan Sekolah /Madrasah. Dijelaskan bahwa  Kepala SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah/madrasah. Utnuk Kepala SMA/MA dibantu minimal tiga wakil kepala sekolah/madrasah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan kepala SMK dibantu  empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri.
Dalam realisasinya, Permen tersebut difahami dalam banyak pengertian. Untuk tingkat SMA dan SMK, pemahaman tentang konsep wakil kepala sekolah telah sesuai dengan Permen. Yang masih simpang siur pada pelaksanaan di tingkat SMP.  Di tingkat SMP, permen masih difahami dengan variatif. Ada sebagia sekolah yang mengartikan bahwa kepala sekolah perlu dibantu oleh satu wakil kepala sekolah. Maka dalam struktur sekolah muncul personal wakil Kepala sekolah. Sementara untuk melengkapi kepengurusan, dipilihlah Pembantu kepala Sekolah (PKS)
Pemahaman Permen
Padahal bila saja kita mau mengkaji pernyataan yang ada di permen tersebut, pengertian yang mungkin betul adalah sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh SMA dan SMK. Di tingkat SMA/SMK, tidak muncul personel wakil kepala sekolah, tapi langsung dikaitkan dengan bahan garapan yaitu wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan kepala SMK dibantu  empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri.
Maka struktur kepengurusan di SMP perlu kiranya dipertegas. Bila melihat bahasa yang termaktub dalam permen yaitu Kepala SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah/madrasah. Maka bisa pula diartikan bahwa wakil kepala sekolah minimal satu dan boleh lebih dari satu. Maka sudah waktunya kita mengubah pola struktur organisasi sekolah terutama di tingkat SMP menyerupai struktur yang berlaku di SMA/SMK.
Bila hal itu terjadi dan memang seharusnya terjadi, di tingkat SMP tidak perlu lagi ada wakil kepala sekolah yang berdiri sendiri, karena tugasnya akan overlap dengan kepala sekolah. Yang ideal adalah istilah PKS dihilangkan dan diganti dengan istilah wakil kepala sekolah. Maka paling tidak nanti ada wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan.
Permasalahan Dalam Pelaksanaan Permen
Persoalan tersebut tisp kali penulis lontarkan di forum, baik forum formal maupun non formal, kebanyakan beralasan bahwa sekolah adalah lembaga otonom. Lembaga yang memungkinkan melakukan berbagai hal sesuai dengan kebutuhannya. Termasuk di dalamnya dalam memahami konsep permen tersebut.
Selain itu, masalah biaya (honor) sering menjadi alasan utama kepala sekolah untuk memberlakukan wakil kepala sekolah hanya satu dan disebut sebagai koordinator kegiatan yang membawahi para pembantu kepala sekolah. Maka kepala sekolah sering berlindung dengan dua alasan tersebut dan melakukan berbagai hal kegiatan dengan tuntutan agar kualitas kegiatan bermutu dengan harga murah.
Padahal bila dilihat dari sumber dana yang ada, pastilah mencukupi. Kota Cirebon misalnya, memilki tiga sumber pendanaan yang permanen bagi sekolah setingkat SMP, yaitu dari BOS Pusat, BOS Propinsi dan BOS Kota Cirebon. Ketiga dana tersebut idealnya mampu mendongkrak pendidikan di kota Cirebon. Nyatanya, masih tinggi DO, masih banyak kulitas lulusan yang rendah. Hal ini karena manajerial di sekolah tidak dikelola dengan baik.

Dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D.nomor 5. Dijelaskan bahwa  wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara sekolah/madrasah.
Poin 5 permen tersebut sengaja saya tampilkan, karena selama ini pemilihan wakil kepala sekolah lebih diasumsikan sebagai hak kuasa kepala sekolah. Kepala sekolah hampir mirip seperti raja yang mempunyai wewenang untuk menentukan siapa yang layak menjadi wakil bidang kesiswaan, akademik atau sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa wakil kepala sekolah dan pembantu kepala sekolah adalah orang-orang yang haruis mampu bekerja sama dengan kepala sekolah.
Ungkapan ini diartikan bahwa dapat bekerja sama searti dengan  apa yang disukai oleh kepala sekolah. Tentunya hal ini membuat posisi kepala sekolah sangat kuat. Bahkan sering muncul isu adanya perselingkuhan administrasi antara bendahara dengan kepala sekolah.
Persoalan terbesar dari sistem tersebut adalah sekolah tidak memilki sistem yang permanen. Sangat tergantung pada kepala sekolah. Padahal kepala sekolah sekarang ini hanya satu atau dua tahun. Atau paling lama empat tahun berada di suatu tempat. Karena mencarai aman, kadang kepala sekolah baru tidak berani melakukan perubahan. Hal itu bisa karena belum memahami kemampuan setiap individu, ataupun ingin cari aman.
Begitupun bagi para pembantu kepala sekolah, agar mapan dan selalu dibutuhkan oleh kepala sekolah, ia melakukan kerja Asal Bapak Senang (ABS). ABS akan membuat sistem sangat terpusat pada kepala sekolah. Bila kepala sekolah yang memilki idealisme tinggi, maka beruntung sekolah tersebut. Tapi bila sekolah itu bernasib buruk di takdirkan Tuhan mendapat kepala sekolah yang tidak peduli terhadap kemajuan pendidikan, maka persekongkolan dapat terjadi.
Selain itu, kemajuan sekolah tidak mungkin terjadi karena dipegang oleh hanya orang-orang tertentu saja. Bisa kita bayangkan, sistem lama memungkinkan seseorang menjadi wakil kepala sekolah sepuluh tahun, melebihi jabatan presiden. Maka regenerasi jelas terhenti. Dan sekolahpun kehilangan kesempatan mendapatkan inovasi dari berbagai orang dan generasi.
Maka sudah saatnya kita merealisasikan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 yang dengan tegas menyataka bahwa pemilihan wakil kepala sekolah dipilih  oleh dewan pendidik.  Ini mengisyaratkan bahwa sistem sekolah lebih difungsikan dari dewan pendidik. Karena dewan pendidik termasuk sekelompok orang yang mempunyai kepedulian tinggi untuk memajukan sekolah. Maka mekanisme pemilihan seluruh struktur yang ada di sekolah harus ditentukan oleh dewan pendidik. Memang dewan pendidik termasuk juga kepala sekolah, karena kepala sekolah hanyalah guru yang mendapat tugas tambahan. Untuk itu  nilai kepala sekoplah hampir setara dengan nilai guru yang lain.
Saya yakin dengan cara tersebut, “persekongkolan” tidak akan terjadi, apalagi salah pilih. Karena dewan pendidik telah memiliki catatan setiap guru yang ada. Maka tak akan terjadi kesalahan dalam pemilihan. Selain itu, regenerasi dapat berjalan dengan baik. Amanat Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 pasti diundangkan dalam memenuhi aturan yang berkehendak baik dan menghasilkan “keluaran” yang lebih baik. Maka sudah seharusnya dilakukan.

Salah satu unsure penting dari Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D. tentang Kepemimpinan Sekolah /Madrasah adalah keputusannya (hasil dari pemilihan) dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di atasnya. Peraturan ini menggambarkan peran Depdiknas/ Depag atau institusi lainnya sebagai institusi terlapor, menjadi penguat pengabsah.
Untuk itu, agar proses pemilihan seluruh organisasi sekolah perlu dibuat format laporan yang menggambar situasi demokratis. Sehinga dapat tergambar dari format laporan itu apakah suatu sekolah melaksanakan program pemeilihan wakil kepala sekolah secara demokratis atau asal-asalan.
Hal ini dirasa penting untuk menumbuhkan situasi sekolah yang lebih sehat dan siap melakukan perubahan-perubahan. Sekolah yang mandiri dan mampu mengatur dirinya sendiri. Sebagaimana diamanatkan oleh sistem pendidikan sekarang yaitu setiap lembaga pendidikan adalah sebuah satuan pendidikan yang mandiri, independen dan berhak mengatur kehidupannya sendiri.

Keberanian untuk melakukan perubahan, adalah bagian dari proses menuju maju. Namun hapir menjadi sifat manusia lebih condong paada keadaan yang mapan dan aman. Padahal mapan dan aman dalam perubahan yang tersistem merupakan kemapanan dan keamanan bagi setiap orang dan bagi lembaga.
Maka untuk merealisasikan permen tersebut, memenag kita nenerlukan energy yang cukup kuat, karena yanag akan dirubah adalah karakter orang terkuat di lembaga sekolah.

ZAKAT PENDIDIKAN



System pendidikan Indonesia tidak mengenal pengkelasan (pembedaan) siswa, misalnya kelas orang desa dan kelas orang kota, atau kelas orang miskin dan kelas orang kaya. Semua orang diperlakukan sama dalam mendapatkan kesempatan dan hak memperoleh pendidikan.karenanya  pendidikan (sekolah) merupakan sarana terbuka (media demokratis) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperjuangkan nasib dirinya. Namun dalam perkembangannya, status dunia pendidikan menjadi tampak berubah, seakan merupakan media tertutup yang hanya dapat dimiliki oleh mereka-mereka yang kaya. Orang miskin dengan berbagai macam kekurangannya, tetap menjadi miskin setelah ia berjuang mati-matian memasuki wilayah pendidikan. Bagaikan seleksi  alam, siswa miskin banyak yang terpental karena system atau masuk dalam lingkaran system yang tidak mampu merubah dirinya dari kemiskinan.
Siswa miskin sejak dari pemilihan sekolah dasar, selalu terpinggirkan dan mendapat sekolah dasar yang tidak representatif. Ketika masa penerimaan murid baru dilakukan, banyak sekolah dasar (SD) melakukan tes baca tulis (walaupun tidak dibenarkan), terutama sekolah dasar yang berada di kota. Hal ini membuat siswa miskin tidak mampu mengakses sekolah-sekolah tersebut karena mereka tidak melalui sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Sementara bagi orang kaya, banyak yang terserap pada sekolah sekolah dasar bonafid karena anak-anak mereka telah ditempa lebih dulu di TK. Dan ini pulalah yang menyebabkan masih banyak TK yang terpaksa  mengajarkan baca tulis karena masih banyak SD yang bonafid melakukan penerimaan siswanya melalui tes tulis dan baca. Sementara pihak SD pun melakukan tes biasa dengan alasan karena banyaknya peminat sehingga perlu dilakukan seleksi secara benar, adil dan transparan.
Karena dari SD yang kurang bonafid dan  dengan sarana yang kurang representatif, siswa miskin tidak mampu menampilkan kemampuannya secara maksimal, selain prilaku-prilaku khusus (non kooperatif) seperti bolos, malas dan senang hura-hura, juga karena  sarana penunjang belajar di rumah yang sangat kurang, selain itu ada juga yang waktunya dipergunakan untuk membantu orang tua (membantu mencari uang) membuat siswa miskin mengalami kendala pada saat masuk ke jenjang yang lebih atasnya. Beda dengan orang kaya yang mempunyai sarana belajar yang mencukupi, lalu ditampung di sekolah yang bonafid ditambah lagi mereka mempunyai kemapuan untuk les di luar jam belajar, maka ketika tes masuk sekolah tentulah masuk pada sekolah-sekolah bonafid ( terutama sekolah negeri).
Beda dengan siswa miskin. Karena kemampuannya yang tidak maksimal mereka akan terpinggirkan pada sekolah sekolah swasta karena tesnya banyak yang gagal. Di swastapun, karena kemapuan ekonomi yang tidak mencukupi, mereka masuk pada sekolah swasta yang murah dan murahan. Kalaupun masuk sekolah negeri, maka biasanya mereka terkonsentrasi pada sekolah negeri pinggiran yang mempunyai sarana yang sangat kurang. Tapi itupun masih untung bila mereka sempat belajar, masih banyak yang lalu berfikir pendek untuk tidak masuk sekolah.
Bila kondisi ini dibiarkan, maka apalah artinya sekolah bagi orang miskin bila lalu tidak membuat siswa miskin mamapu menggali potensi dirinya dalam rangka memutus mata rantai kemiskinan yang mereka rasakan. Justru sekolah semakin membebani orang miskin yang hasilnya pun tidaklah jelas. Secara statistik boleh jadi siswa miskin itu telah menjadi lulusan suatu sekolah, namun dalam kenyataannya banyak siswa miskin yang lalu menjadi pengangguran terselubung. Mereka tidak mempunyai ketahanan hodup yang mupuni karena proses yang telah dilaluinya tidaklah mencukupi. Yang ada justru sekedar memenuhi kewajiban dan atau  kebiasaan masyarakat. Sekolah mereka  bagaikan rutinitas budaya
Kondisi nyata inilah yang lalu menggugah sebagian orang yang peduli pada pendidikan untuk membuat sekolah gratis. Sebuah sekolah yang dibuat sedemikian rupa sehingga gratis. Tapi sekolah yang demikian masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Sementara program pemerintah seperti BOS, Bagus dan Sekolah Bebas Biaya Bulanan (SB3) memang sedikit banyak telah membantu siswa miskin untuk melanjutkan sekolah. Namun dengan system tes reguler yang dilakukan selama ini, membuat kondisi siswa miskin masih terpinggirkan pada sekolah-sekolah pinggiran, bahkan yang terpaksa masuk sekolah swasta, mereka tidak tersentuh dengan program SB3.

Kalau boleh memilih, idealnya siswa miskin masuk pada sekolah yang bonafid. Mengapa? Kondisi mereka dalam situasi yang kurang menguntungkan. Perangkat belajar, seperti buku pegangan, buku penunjang  jarang dimiliki oleh mereka. Kondisi ini membuat mereka susah belajar maksimal di rumah, selain itu waktu mereka juga kadang tersita oleh kegiatan membantu orang tua. Semantara kemampuan awalnya banyak yang kurang karena proses belajar yang tidak ideal. Maka bila mereka lalu dididik pada sekolah yang kurang representativ, mereka tidak akan mendapatkan kemampuan yang memadai.
Beda bila mereka didik di sekolah yang bonafid. Pertama, sarana dan sarana sekolah tersebut relatif lebih memadai. Karena biasanya sekolah bonafid mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Diaharapkan dengan sarana yang lebih baik, mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang mencukupi termasuk buku pegangan. Kedua, kesejahteraan gurunya lebih baik sehingga tanggungjawab dan motivasi guru untuk mengajar lebih baik. Ketiga, sekolah bonafid lebih cenderung dipimpin oleh kepala sekolah pilihan dan sudah berpengalaman. Hal ini akan memungkinkan siswa miskin lebih kondusif belajar.
Rendah Kemampuan
Tapi siapa sih yang mau menerima siswa miskin. Pernah ada kejadian di Kota Cirebon sebuah sekolah menolak siswa yang mendapat program Bagus. Mengapa? Karena mereka siswa miskin. Berbagai persoalan yang sering terjadi pada proses mendidik siswa miskin adalah pertama, kemampuan inelektual yang kurang baik karena tidak diproses dengan baik. Kedua, kemiskinan yang menimpanya sehingga asupan gizi sangat kurang sehingga anak kurang/susah konsentrasi. Mereka lebih sering ribut di kelas.
 Ketiga, kehidupan siswa miskin relatif banyak dari daerah-daerah yang keras dan relatif lebih bebas. Hal ini mengakibatkan siswa miskin sangat susah diatur dan diarahkan, terutama laki-laki. Keempat, kepedulian orang tua sangat kurang, bahkan banyak kasus kunjungan sekolah ke rumah siswa miskin, justru yang sangat ingin agar anak sekolah adalah pihak sekolah. Anak dan orang tua kadang setali tiga uang. Keempat, masih banyak konsep mendidik yang dipegang oleh para guru bahwa nurut, pendiam dan tidak neko-neko itu lebih diminati ketimbang siswa yang berprilaku sebaliknya.
Maka tampaknya masuk akal bila ada sekolah di Kota Cirebon yang menolak siswa program Bagus karena anak tersebut dari keluarga miskin. Namun bila ternyata siswa miskin hanya dilimpahkan atau dikumpulkan dalam beberapa sekolah pinggiran saja, tentu tidak adil dan tidak kondusif. Sekolah pinggiran kesejahteraannya konon lebih rendah dibanding sekolah bonafid, selain itu sarana yang tidak sama lengkapnya dengan sekolah bonafid mengakibatkan siswa miskin tidak mampu memperoleh pelayanan yang maksimal. Persoalan lainnya, sekolah bonafid relatif mendapatkan siswa yang mempunyai intelektual di atas rata-rata, karena banyak peminat sehingga mudah mencari calon siswa, hal ini akan memudahkan dalam proses belajar mengajar. Beda dengan sekolah pinggiran yang selalu mendapat siswa miskin dan siswa yang relatif intelektualnya kurang.
Zakat 10%
Untuk memberikan pelayanan terhadap siswa miskin yang maksimal, maka perlu kiranya diberikan tanggung jawab kepada seluruh sekolah negeri untuk menerima siswa miskin yang berada di daerah sekitarnya. Mereka diterima tidak melalui tes, seperti penerimaan pada siswa berprestasi. Dan kuota mereka paling tidak 10% (sepuluh persen) dari jumlah siswa yang diterima. Bila ternyata siswa yang mendaftar lebih dari kuota yang dibutuhkan, maka sekolah berhak mengadakan tes anatar siswa miskin.
Dengan cara ini ada beberapa harapan yang ingin diwujudkan. Pertama, jumlah siswa 10% siswa miskin dicampur dengan 90% siswa yang lain, diharapkan membawa prilkau positif pada siswa miskin dan mampu mengikuti pola belajar siswa yang lain. Kedua. Jumlah 10% tidak terlalu memberatkan sekolah untuk memberikan berbagai fasilitas untuk menunjang belajar siswa miskin. Ketiga, siswa miskin diharapkan mampu mengembangkan  berbagai potensi yang dimilikinya karena mengikuti proses pembelajaran pada sekolah yang terpercaya (bonafid) dengan sarana yang relatif lebih baik. Keempat, berbagai persoalan dalam mendidik siswa miskin adalah keilmuan yang perlu juga dirasakan oleh sekola-sekolah bonafid. Kelima, harapan akhir adalah dengan cara-cara di atas, siswa miskin diharapkan mampu berubah menjadi generasi yang memotong kemiskinan yang sedang ia rasakan karena telah dibekali berbagai kemapuan.
Cara lain yang juga perlu dipikirkan adalah bagaimana cara yang tepat agar siswa miskin yang sudah kadung atau memang memilih masuk pada sekolah-sekolah pinggiran dapat melanjutkan pada sekolah bonafid yang berada di jenjang lebih atasnya? Selama ini muncul anggapan di masyarakat bahwa SMA bonafid hanya mampu diisioleh SMP bonafid. Anggapan ini membuat beberapa siswa nekad berjubel antri daftar di sekolah bonafid. Hampir rata-rata siswa yang merasa memilki kemampuan lebih memilih pilihan pertamanya di sekolah bonafid, trutama dari tingkat SMP ke tingkat SMA, walaupun di depan rumahnya sendiri ada SMP.
Maka untuk menghilangkan kesenjangan tersebut, perlu pula sekolah-sekolah negeri bonafid untuk memberikan peluang tanpa tes kepada siswa berprestasi akademik. Misalnya yang mampu meraih rengking satu samapi rengking lima. Kriteria rengking dibuktikan dengan prestasi yang ada di Buku Raport. Cara ini akan membuat sekolah-sekolah pinggiran atau siswa miskin tidak harus masuk sekolah bonafid, tapi cukup masuk pada sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Mereka akan terus berjuang meraih prestasi sebaik mungkin agar dapat memasuki sekolah bonafid.
Begitupun untuk lembaga sekolah, ada kemungkinan sekolah-sekolah pinggiran diminati oleh siswa-siswa yang mempunyai kemampuan lebih karena mereka tertarik untuk mencari rangking satu sampai lima dengan persaingan yang relatif mampu dimenangkan oleh mereka. Bagi sekolah negeri penerima, siswa yang mempunyai rengking satu sampai lima yang terjaring, dipastikan siswa terbaik pada sekolah asal yang mempunyai cara dan kemampuan belajar yang lebih baik dari siswa lainnya. Maka ketika mengikuti proses pendidikan di sekolah penerima, siswa akan mudah beradaptasi.
Tidak sepertiyang sekarang kita lihat. Siswa-siswa berkemampuan tinggi terkonsentrasi pada sekolah-sekolah bonafid bahkan merupakan penyuplaitertinggi pada sekolah-sekolah bonafid pada tingkat berikutnya.
Perlu Pengawasan
Program husus siswa miskin ini bila saja dilaksnakan, maka perlu adanya lembaga pengawas. Paling tidak untuk memecahkan berbagai kendala yanag dihadapi oleh sekolah dalam pelaksanaan pendidikan terhadap siswa miskin. Selain itu sebagai lembaga pengawas terhadap jalannya program tersebut. Betulkah siswa miskin telah diperlakukan sesuai dengan kondisinya yang husus, atau malah sebaliknya. Juga pemantauan terhadap berbagai kendala yang berada di luar siswa miskin yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar.
Diharapkan lembaga ini juga mamapu menjadi lembaga permanen yang peduli terhadap kemajuan siswa miskin di Kota Cirebon sampai meraka berhasil lulus dalam berbagai jenjang pendidikan. Diniati karena menjalankan perintah Allah juga menjalankan wasiat Kanjeng Syeikh Syarif Hidayatullah yaitu “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin”., idelanya program dan gagasan tersebut layak dipikirkan.
Munib Rowandi Amsal Hadi
PKS Kesiswaan SMP 6 Kota Cirebon

Selasa, 18 Oktober 2011

Mengikuti Fase Sifat kenabian Nabi Muhammad





Entah siapa yang pertma kali menentukan sifat-sifat kenabian, seperti sifat wajib, muhal dan jaiz. Namun yang pasti kita sudah sangat kenal bahkan hafal tentang sifat-sifat kenabian tersebut. Sejak kita duduk di bangku TK sampai mungkin di ceramah-ceramah umum, kita sering dikenalkan tentang sifat-sifat kenabian.  Kalau boleh menduga, pemberi sifat kenabian seperti wajib, muhal dan jaiz adalah bukan oleh Nabi itu sendiri, tapi oleh orang yang berada di luar Nabi. Bahkan saya menduga boleh jadi pemberi sifat kenabian itu adalah orang-orang yang berada jauh dari masa kenabian Nabi Muhammad.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan sebagai penguatnya. Pertama, istilah wajib yang terdapat pada sifat-sifat wajib para nabi  dimaknai berbeda dengan kata  wajib dalam peristilahan pada umumnya. Dalam peristilahan pada umunya, wajib lebih sering diartikan dengan harus harus. Misalnya: salat lima waktu wajib dikerjakan oleh seluruh ummat Islam. Pernyataan ini dapat juga diartikan bahwa salat lima waktu harus dikerjakan oleh seluruh ummat Islam.
Beda dengan pernyataan: Nabi Muhammad memiliki sifat wajib sidiq, misalnya. Pernyataan ini tidak boleh diartikan Nabi Muhammad harus memiliki sifat sidiq, tapi diartikan menjadi Nabi Muhammad  pasti memilki sifat sidiq. Peredaan ini menunjukkan bahwa sifat-sifat kenabian tidak menjadi criteria atau ketentuan yang menjadi pra syarat agar seseorang untuk menjadi nabi, tapi  merupakan ungkapan dari masyarakat yang merasakan bahwa hampir semua apa yang dikatan, diperbuat dan diamnya Nabi Muhammad adalah merupakan kebenaran. Orang-orang yang hidup dengan nabi merasakan bahwa nabi secara konsisten selalu sidiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan informasi apa adanya) dan fathanah (cerdas)
 Kedua, rasanya tak mungkin bila sifat-sifat itu yang mengatakan Nabi sendiri. Misalnya Nabi mengatakan, “Saya (Muhammad) bersifat sidiq (benar)”. Rasanya tidak mungkin sifat benarnya Nabi ini diucapkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Karena, kebenaran merupakan sifat universal yang harus dapat dirasakan oleh banyak orang. Kenyataannya, sehebat apapun kita mempromosikan kita, tidak ada artinya sama sekali bila tidak diimbangi dengan kenyataan  yang dapat dirasakan oleh banyak orang. Begitupun sehebat apapun orang lain menilai kita, namun bila kenyataannya kita tak sesuai dengan penilain itu, maka penilaian itu tak berarti apa-apa. Maka sifat benarnya Nabi Muhammad pasti bukan Nabi yang menyampaikannya, tapi merupakan penilaian orang disekitar Nabi Muhammad.
Ketiga, sifat wajib yang dilambangkan oleh orang-orang untuk sifat kenabian, Nabi Muhammad misalnya, adalah akibat dari berbagai sifat yang baik yang dibutuhkan oleh manasuia yang dilakukan secara terus menerus tanpa pernah berubah. Hal ini karena Nabi memiliki prinsip yang sangat kuat. Nabi memang sangat respon terhadap lingkungan, namun seluruh tindakan lebih dikarenakan bersumber dari dirinya (wahyu). Lungkungan sehebat apapun, seganas apapun, berkat keteguhan iman Nabi Muhammad, beliau secara konsisten dapat melakukan berbagai sifat dan tindakan yang baik.


Fase Sifat Kenabian
Pernyataan di atas, sengaja dibuat sebagai pembuka untuk mempertegas opini kita bahwa sifat-sifat kenabian Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang dicitrakan oleh Nabi itu sendiri, tapi merupakan perasaan-perasaan yang diakumulasikan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya atau orang-orang yang mengenal diri Nabi walaupun mereka hidup jauh dari masa Nabi. Hal ini penting, agar kita memahami bahwa sifat-sifat kenabian merupakan buah prestasi bukan buah doktrinasi. Maka untuk mengikuti langkah fase sifat kenabian, yang terpenting adalah taburkan prestasi dan biarkan orang sekitar kita untuk menilai bagaimana kita. Selain itu, seluruh kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, digerakkan oleh keimanannya yang kuat, keimanan yang bersumber dari wahyu Allah, keimanan yang membuahkan optiomisme  yang kuat. Maka lingkungan di sekitarnya, baik yang positif maupun yang negative, tidak membuatnya berubah pendirian.
Ada sifat yang pasti ada pada Nabi Muhammad yaitu sifat as shidiq (selalu benar), al amaanah (selalu terpercaya), al tabligh (menyampaikan, transparan), dan al fathanah (cerdas). Keempat sifat ini berbalikan dengan sifat muhal, yaitu sifat yang pasti tidak dimiliki oleh Nabi Muhammad yaitu al kidzib (berbohong), al hiayanah (berhianat), kitman (menyembunyikan kebenaran) dan baladah (bodoh). Semua sifat itu adalah sifat ideal yang dapat dimilki oleh siapapun, dan merupakan sifat yang dibutuhkan oleh siapapun. Bila saja sifat itu dapat dimilki oleh seseorang, maka alam sekitarnya, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya akan merasa tentram dan damai.
Sifat-sifat wajib bagi nabi, secara hirarkis memilki makna tersendiri dan merupakan fase dari sifat ideal manusia. Pertama sifat al shiddiq artinya benar. Benar dalam sifat kenabian bukanlah sifat kebenaran eksklusif, kebenaran yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad telah membuat orang sekitarnya mengakui bahwa itu adalah benar. Perkataan, diam dan tindakan Nabi Muhammad diakui sebagai kebenaran walaupun tidak semua yang membenarkan Nabi Muhammad menjadi pengikut Nabi Muhammad. Hal ini sekaligus memperkuat prinsip universalitas kebenanaran saat itu. Orang-orang dapat membenarkan apa yang menjadi prilaku Nabi tanpa harus menjadi pengikut Nabi.
Kebenaran merupakan fase awal untuk menapaki fase berikutnya. Setelah masyarakat merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi adalah benar, maka masyarakat memberikan kepercayaan (amanah) kepada Nabi Muhammad. Mandat yang diberikan oleh masyarakat kepada Nabi bukan dibeli dengan uang, jabatan atau pangkat, tapi prestasi yang gemilang sehingga masyarakat nyaman untuk menjadi ummatnya. Orang yang menjadi ummatnya tidak terlintas sedikitpun perasaan takut akan sengsara atau celaka ketika mengikuti pola hidup Nabi. Maka tidak ada umat yang manarik kepercayaannya kepada Nabi Muhammad.
Sebaliknya, bila kejujuran belum kita lakukan, atau kita masih dianggap oleh orang-orang di sekitar kita sebagai orang yang kidzib (bohong), maka tak mungkin kita mendapatkan amanah (Kepercayaan), kalaupun ada yang terlanjur memberikan amanah, maka akan menariknya kembali. Maka kejujuran mutlak harus dilewati untuk menuju fase amanah atau mendapat kepercayaan dari orang sekitar kita.
Ketika masyarakat telah memberikan amanah atau kepercayaan, berarti masyarakat tidak sekedar membenarkan tapi telah menitipkan sesuatu, atau paling tidak siap untuk menitipkan keselamatan dirinya. Sifat amanah ini tidak akan sempurna bila tidak disertai dengan sifat tabligh (menyampaikan sesuatu secara transparan). Sifat ini muncul karena masyarakat merasa bahwa segala hak kehidupannya terpenuhi oleh pola hidup Nabi. Komunikasi yang baik dan perlakukan adil membuat sifat tabligh diberikan kepada Nabi Muhammad. Masyarakat butuh informasi yang transparan dalam berbagai hal. Tak ditutup-tutupi dan adil serta proporsional. Tidak gamang karena kritik, serta berorientasi untuk ummat.
Konsistensi Nabi Muhammad untuk memperjuangkan ummatnya, membuat umat Nabi Muhammad menggantungkan segala kepercayaannya. Dan kepercayaan yang penuh kepada Nabi Muhammad dikarenakan orang-oarang di sekitar Nabi Muhammad merasa nabi Muhammad terbuka, transparan, tak ada yang ditutup-tutupi. Nabi Muhammad terbuka dengan siapapun.
Keterpenuhan tiga sifat itulah maka masyarakatpun menjuluki nabi Muhammad sebagai orang yang fathana atau cerdas. Ciri dari cerdas di sisni adalah munculnya masyarakat yang berprinsip pada kebenaran, berorientasi pada kesejahteraan umum (ummat) dan terpenuhinya berbagai informasi secara transparan sehinga berkurangnya saling curiga dan prasangka buruk yang selama ini menjadi pemicu perang antar suku di Arab.
Itulah fase sifat kenabian bila kita menginginkan untuk mengikuti pola sifat kenabian Muhammad. Fase tersebut memang dibuat oleh penulis untuk memudahkan kita melakukan dan mengikuti sifat Nabi Muhammad. Untuk Nabi sendiri, boleh jadi satu tingkahnya telah memenuhi keempat sifat tersebut. Maka setiap langkah Nabi Muhammad pastilah benar, memenuhi keinginan masyarakat, terbuka dan transparan serta cerdas.
Penulis adalah Guru Agama Islam SMP Negeri 6 Kota Cirebon.