Rabu, 19 Oktober 2011

PENCITRAAN ALIRAN SESAT PERLU AKADEMISI



Belakangan ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon sangat meminati informasi tentang aliran-aliran yang dianggap sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Mullah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga wahidiyah, dan lairan-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita.
Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah  pemerintah, baik pemerintah di tingkat paling bawah mapun pada tingkatan yang lebih tinggi, alasannya untuk menanggulangi keresahan masyarakat. Dan langkah tersebut selalu mendapat apresiasi positif dari masyarakat.  Kecepatan langkah  pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan.
Selain pemerintah, yang tak kalah cepat bertindak adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah   gerakan massa.
Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majlis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tungalnya,  MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan  fatwa (keputusan hokum). Organisasi ini memang  sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa.
Departemen Agama sendiri, sebagai lembaga yang semestinya mempunyai kepentingan yang lebih tinggi, biasanya bertindak dengan terlebih dahulu melihat gelagat. Bertindak lebih hati-hati atau malah dengan rasa takut. Terkesan mencari aman, dan sering menampilkan sikap yang seumumnya.  Yang aneh lagi, kadang semua elemen melakukan lankah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah,  malah mengkroyok (justifikasi).
Dari berbagai penangan kasus yang dilakukan dengan cara-cara tersebut, selain kadang menimbulkan sikap anarkis, juga penyelasaiannya tidak mengakar dan mendalam. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena   parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi.
Perlindungan Hukum
Beragama, secara normative merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normative ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesemptan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah.
Hak-hak itulah yang selama ini tampak tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan”  atau “membela Tuhan”.
Indonesia sebagai Negara agamis, karena semua warganya wajib beragama, harus menyudahi cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran  hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam undang-undang dasar kita. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hokum positif)
Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sebagai contoh kasus aliran sesat Surga Adn. Hampir sebagian besar informasi, lebih dikedepankan pendapat orang-orang yang kontra dengan Pak. Tantowi. Pak Tantowi sendiri tampak tak diberi porsi yang sama untuk menjelaskan sikap-sikapnya selama ini.
Oleh karenanya, masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsure intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekpresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hokum, terutama praduga tak beraslah, juga sistem hokum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat.
Selama ini, para penganut aliran sesat, seakan orang yang salah sebelum ketuk palu dijatuhkan. Rumahnya dirusak. Orangnya ditempeleng bahkan ada sebagian yang mengusir dan merobohkan tempat ibadahnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hokum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Marah, merusak adalah bukan tindakan hokum. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hokum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar.
Libatkan Akademisi
Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu menyudahi dengan cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk  menghukumi suatu aliran dengan meberikan keputusan hokum. Semua harus berdasarkan hokum yang berlaku. (hokum positif)
Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan pada pengadilan, saya kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akdemisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik.
Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyekytif dan komrehensif.
Selain itu, karena obyektyifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan sesat dan tidak sesat. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologism, epistimlogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau toh ahirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas.
Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat lebih mendalam dan komprehensip. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensip. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anrkis.
Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan saya optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki.


Penulis: Guru Agama Islam SMP Negeri 12 Kota Cirebon.



MEMPERTEGAS PERAN WAKIL KEPALA SEKOLAH

           Dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D. tentang Kepemimpinan Sekolah /Madrasah. Dijelaskan bahwa  Kepala SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah/madrasah. Utnuk Kepala SMA/MA dibantu minimal tiga wakil kepala sekolah/madrasah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan kepala SMK dibantu  empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri.
Dalam realisasinya, Permen tersebut difahami dalam banyak pengertian. Untuk tingkat SMA dan SMK, pemahaman tentang konsep wakil kepala sekolah telah sesuai dengan Permen. Yang masih simpang siur pada pelaksanaan di tingkat SMP.  Di tingkat SMP, permen masih difahami dengan variatif. Ada sebagia sekolah yang mengartikan bahwa kepala sekolah perlu dibantu oleh satu wakil kepala sekolah. Maka dalam struktur sekolah muncul personal wakil Kepala sekolah. Sementara untuk melengkapi kepengurusan, dipilihlah Pembantu kepala Sekolah (PKS)
Pemahaman Permen
Padahal bila saja kita mau mengkaji pernyataan yang ada di permen tersebut, pengertian yang mungkin betul adalah sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh SMA dan SMK. Di tingkat SMA/SMK, tidak muncul personel wakil kepala sekolah, tapi langsung dikaitkan dengan bahan garapan yaitu wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan kepala SMK dibantu  empat wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, kesiswaan, dan hubungan dunia usaha dan dunia industri.
Maka struktur kepengurusan di SMP perlu kiranya dipertegas. Bila melihat bahasa yang termaktub dalam permen yaitu Kepala SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal oleh satu orang wakil kepala sekolah/madrasah. Maka bisa pula diartikan bahwa wakil kepala sekolah minimal satu dan boleh lebih dari satu. Maka sudah waktunya kita mengubah pola struktur organisasi sekolah terutama di tingkat SMP menyerupai struktur yang berlaku di SMA/SMK.
Bila hal itu terjadi dan memang seharusnya terjadi, di tingkat SMP tidak perlu lagi ada wakil kepala sekolah yang berdiri sendiri, karena tugasnya akan overlap dengan kepala sekolah. Yang ideal adalah istilah PKS dihilangkan dan diganti dengan istilah wakil kepala sekolah. Maka paling tidak nanti ada wakil kepala sekolah untuk bidang akademik, sarana-prasarana, dan kesiswaan.
Permasalahan Dalam Pelaksanaan Permen
Persoalan tersebut tisp kali penulis lontarkan di forum, baik forum formal maupun non formal, kebanyakan beralasan bahwa sekolah adalah lembaga otonom. Lembaga yang memungkinkan melakukan berbagai hal sesuai dengan kebutuhannya. Termasuk di dalamnya dalam memahami konsep permen tersebut.
Selain itu, masalah biaya (honor) sering menjadi alasan utama kepala sekolah untuk memberlakukan wakil kepala sekolah hanya satu dan disebut sebagai koordinator kegiatan yang membawahi para pembantu kepala sekolah. Maka kepala sekolah sering berlindung dengan dua alasan tersebut dan melakukan berbagai hal kegiatan dengan tuntutan agar kualitas kegiatan bermutu dengan harga murah.
Padahal bila dilihat dari sumber dana yang ada, pastilah mencukupi. Kota Cirebon misalnya, memilki tiga sumber pendanaan yang permanen bagi sekolah setingkat SMP, yaitu dari BOS Pusat, BOS Propinsi dan BOS Kota Cirebon. Ketiga dana tersebut idealnya mampu mendongkrak pendidikan di kota Cirebon. Nyatanya, masih tinggi DO, masih banyak kulitas lulusan yang rendah. Hal ini karena manajerial di sekolah tidak dikelola dengan baik.

Dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D.nomor 5. Dijelaskan bahwa  wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara sekolah/madrasah.
Poin 5 permen tersebut sengaja saya tampilkan, karena selama ini pemilihan wakil kepala sekolah lebih diasumsikan sebagai hak kuasa kepala sekolah. Kepala sekolah hampir mirip seperti raja yang mempunyai wewenang untuk menentukan siapa yang layak menjadi wakil bidang kesiswaan, akademik atau sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa wakil kepala sekolah dan pembantu kepala sekolah adalah orang-orang yang haruis mampu bekerja sama dengan kepala sekolah.
Ungkapan ini diartikan bahwa dapat bekerja sama searti dengan  apa yang disukai oleh kepala sekolah. Tentunya hal ini membuat posisi kepala sekolah sangat kuat. Bahkan sering muncul isu adanya perselingkuhan administrasi antara bendahara dengan kepala sekolah.
Persoalan terbesar dari sistem tersebut adalah sekolah tidak memilki sistem yang permanen. Sangat tergantung pada kepala sekolah. Padahal kepala sekolah sekarang ini hanya satu atau dua tahun. Atau paling lama empat tahun berada di suatu tempat. Karena mencarai aman, kadang kepala sekolah baru tidak berani melakukan perubahan. Hal itu bisa karena belum memahami kemampuan setiap individu, ataupun ingin cari aman.
Begitupun bagi para pembantu kepala sekolah, agar mapan dan selalu dibutuhkan oleh kepala sekolah, ia melakukan kerja Asal Bapak Senang (ABS). ABS akan membuat sistem sangat terpusat pada kepala sekolah. Bila kepala sekolah yang memilki idealisme tinggi, maka beruntung sekolah tersebut. Tapi bila sekolah itu bernasib buruk di takdirkan Tuhan mendapat kepala sekolah yang tidak peduli terhadap kemajuan pendidikan, maka persekongkolan dapat terjadi.
Selain itu, kemajuan sekolah tidak mungkin terjadi karena dipegang oleh hanya orang-orang tertentu saja. Bisa kita bayangkan, sistem lama memungkinkan seseorang menjadi wakil kepala sekolah sepuluh tahun, melebihi jabatan presiden. Maka regenerasi jelas terhenti. Dan sekolahpun kehilangan kesempatan mendapatkan inovasi dari berbagai orang dan generasi.
Maka sudah saatnya kita merealisasikan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 yang dengan tegas menyataka bahwa pemilihan wakil kepala sekolah dipilih  oleh dewan pendidik.  Ini mengisyaratkan bahwa sistem sekolah lebih difungsikan dari dewan pendidik. Karena dewan pendidik termasuk sekelompok orang yang mempunyai kepedulian tinggi untuk memajukan sekolah. Maka mekanisme pemilihan seluruh struktur yang ada di sekolah harus ditentukan oleh dewan pendidik. Memang dewan pendidik termasuk juga kepala sekolah, karena kepala sekolah hanyalah guru yang mendapat tugas tambahan. Untuk itu  nilai kepala sekoplah hampir setara dengan nilai guru yang lain.
Saya yakin dengan cara tersebut, “persekongkolan” tidak akan terjadi, apalagi salah pilih. Karena dewan pendidik telah memiliki catatan setiap guru yang ada. Maka tak akan terjadi kesalahan dalam pemilihan. Selain itu, regenerasi dapat berjalan dengan baik. Amanat Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 pasti diundangkan dalam memenuhi aturan yang berkehendak baik dan menghasilkan “keluaran” yang lebih baik. Maka sudah seharusnya dilakukan.

Salah satu unsure penting dari Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007 bagian D. tentang Kepemimpinan Sekolah /Madrasah adalah keputusannya (hasil dari pemilihan) dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di atasnya. Peraturan ini menggambarkan peran Depdiknas/ Depag atau institusi lainnya sebagai institusi terlapor, menjadi penguat pengabsah.
Untuk itu, agar proses pemilihan seluruh organisasi sekolah perlu dibuat format laporan yang menggambar situasi demokratis. Sehinga dapat tergambar dari format laporan itu apakah suatu sekolah melaksanakan program pemeilihan wakil kepala sekolah secara demokratis atau asal-asalan.
Hal ini dirasa penting untuk menumbuhkan situasi sekolah yang lebih sehat dan siap melakukan perubahan-perubahan. Sekolah yang mandiri dan mampu mengatur dirinya sendiri. Sebagaimana diamanatkan oleh sistem pendidikan sekarang yaitu setiap lembaga pendidikan adalah sebuah satuan pendidikan yang mandiri, independen dan berhak mengatur kehidupannya sendiri.

Keberanian untuk melakukan perubahan, adalah bagian dari proses menuju maju. Namun hapir menjadi sifat manusia lebih condong paada keadaan yang mapan dan aman. Padahal mapan dan aman dalam perubahan yang tersistem merupakan kemapanan dan keamanan bagi setiap orang dan bagi lembaga.
Maka untuk merealisasikan permen tersebut, memenag kita nenerlukan energy yang cukup kuat, karena yanag akan dirubah adalah karakter orang terkuat di lembaga sekolah.

ZAKAT PENDIDIKAN



System pendidikan Indonesia tidak mengenal pengkelasan (pembedaan) siswa, misalnya kelas orang desa dan kelas orang kota, atau kelas orang miskin dan kelas orang kaya. Semua orang diperlakukan sama dalam mendapatkan kesempatan dan hak memperoleh pendidikan.karenanya  pendidikan (sekolah) merupakan sarana terbuka (media demokratis) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperjuangkan nasib dirinya. Namun dalam perkembangannya, status dunia pendidikan menjadi tampak berubah, seakan merupakan media tertutup yang hanya dapat dimiliki oleh mereka-mereka yang kaya. Orang miskin dengan berbagai macam kekurangannya, tetap menjadi miskin setelah ia berjuang mati-matian memasuki wilayah pendidikan. Bagaikan seleksi  alam, siswa miskin banyak yang terpental karena system atau masuk dalam lingkaran system yang tidak mampu merubah dirinya dari kemiskinan.
Siswa miskin sejak dari pemilihan sekolah dasar, selalu terpinggirkan dan mendapat sekolah dasar yang tidak representatif. Ketika masa penerimaan murid baru dilakukan, banyak sekolah dasar (SD) melakukan tes baca tulis (walaupun tidak dibenarkan), terutama sekolah dasar yang berada di kota. Hal ini membuat siswa miskin tidak mampu mengakses sekolah-sekolah tersebut karena mereka tidak melalui sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Sementara bagi orang kaya, banyak yang terserap pada sekolah sekolah dasar bonafid karena anak-anak mereka telah ditempa lebih dulu di TK. Dan ini pulalah yang menyebabkan masih banyak TK yang terpaksa  mengajarkan baca tulis karena masih banyak SD yang bonafid melakukan penerimaan siswanya melalui tes tulis dan baca. Sementara pihak SD pun melakukan tes biasa dengan alasan karena banyaknya peminat sehingga perlu dilakukan seleksi secara benar, adil dan transparan.
Karena dari SD yang kurang bonafid dan  dengan sarana yang kurang representatif, siswa miskin tidak mampu menampilkan kemampuannya secara maksimal, selain prilaku-prilaku khusus (non kooperatif) seperti bolos, malas dan senang hura-hura, juga karena  sarana penunjang belajar di rumah yang sangat kurang, selain itu ada juga yang waktunya dipergunakan untuk membantu orang tua (membantu mencari uang) membuat siswa miskin mengalami kendala pada saat masuk ke jenjang yang lebih atasnya. Beda dengan orang kaya yang mempunyai sarana belajar yang mencukupi, lalu ditampung di sekolah yang bonafid ditambah lagi mereka mempunyai kemapuan untuk les di luar jam belajar, maka ketika tes masuk sekolah tentulah masuk pada sekolah-sekolah bonafid ( terutama sekolah negeri).
Beda dengan siswa miskin. Karena kemampuannya yang tidak maksimal mereka akan terpinggirkan pada sekolah sekolah swasta karena tesnya banyak yang gagal. Di swastapun, karena kemapuan ekonomi yang tidak mencukupi, mereka masuk pada sekolah swasta yang murah dan murahan. Kalaupun masuk sekolah negeri, maka biasanya mereka terkonsentrasi pada sekolah negeri pinggiran yang mempunyai sarana yang sangat kurang. Tapi itupun masih untung bila mereka sempat belajar, masih banyak yang lalu berfikir pendek untuk tidak masuk sekolah.
Bila kondisi ini dibiarkan, maka apalah artinya sekolah bagi orang miskin bila lalu tidak membuat siswa miskin mamapu menggali potensi dirinya dalam rangka memutus mata rantai kemiskinan yang mereka rasakan. Justru sekolah semakin membebani orang miskin yang hasilnya pun tidaklah jelas. Secara statistik boleh jadi siswa miskin itu telah menjadi lulusan suatu sekolah, namun dalam kenyataannya banyak siswa miskin yang lalu menjadi pengangguran terselubung. Mereka tidak mempunyai ketahanan hodup yang mupuni karena proses yang telah dilaluinya tidaklah mencukupi. Yang ada justru sekedar memenuhi kewajiban dan atau  kebiasaan masyarakat. Sekolah mereka  bagaikan rutinitas budaya
Kondisi nyata inilah yang lalu menggugah sebagian orang yang peduli pada pendidikan untuk membuat sekolah gratis. Sebuah sekolah yang dibuat sedemikian rupa sehingga gratis. Tapi sekolah yang demikian masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Sementara program pemerintah seperti BOS, Bagus dan Sekolah Bebas Biaya Bulanan (SB3) memang sedikit banyak telah membantu siswa miskin untuk melanjutkan sekolah. Namun dengan system tes reguler yang dilakukan selama ini, membuat kondisi siswa miskin masih terpinggirkan pada sekolah-sekolah pinggiran, bahkan yang terpaksa masuk sekolah swasta, mereka tidak tersentuh dengan program SB3.

Kalau boleh memilih, idealnya siswa miskin masuk pada sekolah yang bonafid. Mengapa? Kondisi mereka dalam situasi yang kurang menguntungkan. Perangkat belajar, seperti buku pegangan, buku penunjang  jarang dimiliki oleh mereka. Kondisi ini membuat mereka susah belajar maksimal di rumah, selain itu waktu mereka juga kadang tersita oleh kegiatan membantu orang tua. Semantara kemampuan awalnya banyak yang kurang karena proses belajar yang tidak ideal. Maka bila mereka lalu dididik pada sekolah yang kurang representativ, mereka tidak akan mendapatkan kemampuan yang memadai.
Beda bila mereka didik di sekolah yang bonafid. Pertama, sarana dan sarana sekolah tersebut relatif lebih memadai. Karena biasanya sekolah bonafid mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Diaharapkan dengan sarana yang lebih baik, mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang mencukupi termasuk buku pegangan. Kedua, kesejahteraan gurunya lebih baik sehingga tanggungjawab dan motivasi guru untuk mengajar lebih baik. Ketiga, sekolah bonafid lebih cenderung dipimpin oleh kepala sekolah pilihan dan sudah berpengalaman. Hal ini akan memungkinkan siswa miskin lebih kondusif belajar.
Rendah Kemampuan
Tapi siapa sih yang mau menerima siswa miskin. Pernah ada kejadian di Kota Cirebon sebuah sekolah menolak siswa yang mendapat program Bagus. Mengapa? Karena mereka siswa miskin. Berbagai persoalan yang sering terjadi pada proses mendidik siswa miskin adalah pertama, kemampuan inelektual yang kurang baik karena tidak diproses dengan baik. Kedua, kemiskinan yang menimpanya sehingga asupan gizi sangat kurang sehingga anak kurang/susah konsentrasi. Mereka lebih sering ribut di kelas.
 Ketiga, kehidupan siswa miskin relatif banyak dari daerah-daerah yang keras dan relatif lebih bebas. Hal ini mengakibatkan siswa miskin sangat susah diatur dan diarahkan, terutama laki-laki. Keempat, kepedulian orang tua sangat kurang, bahkan banyak kasus kunjungan sekolah ke rumah siswa miskin, justru yang sangat ingin agar anak sekolah adalah pihak sekolah. Anak dan orang tua kadang setali tiga uang. Keempat, masih banyak konsep mendidik yang dipegang oleh para guru bahwa nurut, pendiam dan tidak neko-neko itu lebih diminati ketimbang siswa yang berprilaku sebaliknya.
Maka tampaknya masuk akal bila ada sekolah di Kota Cirebon yang menolak siswa program Bagus karena anak tersebut dari keluarga miskin. Namun bila ternyata siswa miskin hanya dilimpahkan atau dikumpulkan dalam beberapa sekolah pinggiran saja, tentu tidak adil dan tidak kondusif. Sekolah pinggiran kesejahteraannya konon lebih rendah dibanding sekolah bonafid, selain itu sarana yang tidak sama lengkapnya dengan sekolah bonafid mengakibatkan siswa miskin tidak mampu memperoleh pelayanan yang maksimal. Persoalan lainnya, sekolah bonafid relatif mendapatkan siswa yang mempunyai intelektual di atas rata-rata, karena banyak peminat sehingga mudah mencari calon siswa, hal ini akan memudahkan dalam proses belajar mengajar. Beda dengan sekolah pinggiran yang selalu mendapat siswa miskin dan siswa yang relatif intelektualnya kurang.
Zakat 10%
Untuk memberikan pelayanan terhadap siswa miskin yang maksimal, maka perlu kiranya diberikan tanggung jawab kepada seluruh sekolah negeri untuk menerima siswa miskin yang berada di daerah sekitarnya. Mereka diterima tidak melalui tes, seperti penerimaan pada siswa berprestasi. Dan kuota mereka paling tidak 10% (sepuluh persen) dari jumlah siswa yang diterima. Bila ternyata siswa yang mendaftar lebih dari kuota yang dibutuhkan, maka sekolah berhak mengadakan tes anatar siswa miskin.
Dengan cara ini ada beberapa harapan yang ingin diwujudkan. Pertama, jumlah siswa 10% siswa miskin dicampur dengan 90% siswa yang lain, diharapkan membawa prilkau positif pada siswa miskin dan mampu mengikuti pola belajar siswa yang lain. Kedua. Jumlah 10% tidak terlalu memberatkan sekolah untuk memberikan berbagai fasilitas untuk menunjang belajar siswa miskin. Ketiga, siswa miskin diharapkan mampu mengembangkan  berbagai potensi yang dimilikinya karena mengikuti proses pembelajaran pada sekolah yang terpercaya (bonafid) dengan sarana yang relatif lebih baik. Keempat, berbagai persoalan dalam mendidik siswa miskin adalah keilmuan yang perlu juga dirasakan oleh sekola-sekolah bonafid. Kelima, harapan akhir adalah dengan cara-cara di atas, siswa miskin diharapkan mampu berubah menjadi generasi yang memotong kemiskinan yang sedang ia rasakan karena telah dibekali berbagai kemapuan.
Cara lain yang juga perlu dipikirkan adalah bagaimana cara yang tepat agar siswa miskin yang sudah kadung atau memang memilih masuk pada sekolah-sekolah pinggiran dapat melanjutkan pada sekolah bonafid yang berada di jenjang lebih atasnya? Selama ini muncul anggapan di masyarakat bahwa SMA bonafid hanya mampu diisioleh SMP bonafid. Anggapan ini membuat beberapa siswa nekad berjubel antri daftar di sekolah bonafid. Hampir rata-rata siswa yang merasa memilki kemampuan lebih memilih pilihan pertamanya di sekolah bonafid, trutama dari tingkat SMP ke tingkat SMA, walaupun di depan rumahnya sendiri ada SMP.
Maka untuk menghilangkan kesenjangan tersebut, perlu pula sekolah-sekolah negeri bonafid untuk memberikan peluang tanpa tes kepada siswa berprestasi akademik. Misalnya yang mampu meraih rengking satu samapi rengking lima. Kriteria rengking dibuktikan dengan prestasi yang ada di Buku Raport. Cara ini akan membuat sekolah-sekolah pinggiran atau siswa miskin tidak harus masuk sekolah bonafid, tapi cukup masuk pada sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Mereka akan terus berjuang meraih prestasi sebaik mungkin agar dapat memasuki sekolah bonafid.
Begitupun untuk lembaga sekolah, ada kemungkinan sekolah-sekolah pinggiran diminati oleh siswa-siswa yang mempunyai kemampuan lebih karena mereka tertarik untuk mencari rangking satu sampai lima dengan persaingan yang relatif mampu dimenangkan oleh mereka. Bagi sekolah negeri penerima, siswa yang mempunyai rengking satu sampai lima yang terjaring, dipastikan siswa terbaik pada sekolah asal yang mempunyai cara dan kemampuan belajar yang lebih baik dari siswa lainnya. Maka ketika mengikuti proses pendidikan di sekolah penerima, siswa akan mudah beradaptasi.
Tidak sepertiyang sekarang kita lihat. Siswa-siswa berkemampuan tinggi terkonsentrasi pada sekolah-sekolah bonafid bahkan merupakan penyuplaitertinggi pada sekolah-sekolah bonafid pada tingkat berikutnya.
Perlu Pengawasan
Program husus siswa miskin ini bila saja dilaksnakan, maka perlu adanya lembaga pengawas. Paling tidak untuk memecahkan berbagai kendala yanag dihadapi oleh sekolah dalam pelaksanaan pendidikan terhadap siswa miskin. Selain itu sebagai lembaga pengawas terhadap jalannya program tersebut. Betulkah siswa miskin telah diperlakukan sesuai dengan kondisinya yang husus, atau malah sebaliknya. Juga pemantauan terhadap berbagai kendala yang berada di luar siswa miskin yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar.
Diharapkan lembaga ini juga mamapu menjadi lembaga permanen yang peduli terhadap kemajuan siswa miskin di Kota Cirebon sampai meraka berhasil lulus dalam berbagai jenjang pendidikan. Diniati karena menjalankan perintah Allah juga menjalankan wasiat Kanjeng Syeikh Syarif Hidayatullah yaitu “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin”., idelanya program dan gagasan tersebut layak dipikirkan.
Munib Rowandi Amsal Hadi
PKS Kesiswaan SMP 6 Kota Cirebon

Selasa, 18 Oktober 2011

Mengikuti Fase Sifat kenabian Nabi Muhammad





Entah siapa yang pertma kali menentukan sifat-sifat kenabian, seperti sifat wajib, muhal dan jaiz. Namun yang pasti kita sudah sangat kenal bahkan hafal tentang sifat-sifat kenabian tersebut. Sejak kita duduk di bangku TK sampai mungkin di ceramah-ceramah umum, kita sering dikenalkan tentang sifat-sifat kenabian.  Kalau boleh menduga, pemberi sifat kenabian seperti wajib, muhal dan jaiz adalah bukan oleh Nabi itu sendiri, tapi oleh orang yang berada di luar Nabi. Bahkan saya menduga boleh jadi pemberi sifat kenabian itu adalah orang-orang yang berada jauh dari masa kenabian Nabi Muhammad.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan sebagai penguatnya. Pertama, istilah wajib yang terdapat pada sifat-sifat wajib para nabi  dimaknai berbeda dengan kata  wajib dalam peristilahan pada umumnya. Dalam peristilahan pada umunya, wajib lebih sering diartikan dengan harus harus. Misalnya: salat lima waktu wajib dikerjakan oleh seluruh ummat Islam. Pernyataan ini dapat juga diartikan bahwa salat lima waktu harus dikerjakan oleh seluruh ummat Islam.
Beda dengan pernyataan: Nabi Muhammad memiliki sifat wajib sidiq, misalnya. Pernyataan ini tidak boleh diartikan Nabi Muhammad harus memiliki sifat sidiq, tapi diartikan menjadi Nabi Muhammad  pasti memilki sifat sidiq. Peredaan ini menunjukkan bahwa sifat-sifat kenabian tidak menjadi criteria atau ketentuan yang menjadi pra syarat agar seseorang untuk menjadi nabi, tapi  merupakan ungkapan dari masyarakat yang merasakan bahwa hampir semua apa yang dikatan, diperbuat dan diamnya Nabi Muhammad adalah merupakan kebenaran. Orang-orang yang hidup dengan nabi merasakan bahwa nabi secara konsisten selalu sidiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan informasi apa adanya) dan fathanah (cerdas)
 Kedua, rasanya tak mungkin bila sifat-sifat itu yang mengatakan Nabi sendiri. Misalnya Nabi mengatakan, “Saya (Muhammad) bersifat sidiq (benar)”. Rasanya tidak mungkin sifat benarnya Nabi ini diucapkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Karena, kebenaran merupakan sifat universal yang harus dapat dirasakan oleh banyak orang. Kenyataannya, sehebat apapun kita mempromosikan kita, tidak ada artinya sama sekali bila tidak diimbangi dengan kenyataan  yang dapat dirasakan oleh banyak orang. Begitupun sehebat apapun orang lain menilai kita, namun bila kenyataannya kita tak sesuai dengan penilain itu, maka penilaian itu tak berarti apa-apa. Maka sifat benarnya Nabi Muhammad pasti bukan Nabi yang menyampaikannya, tapi merupakan penilaian orang disekitar Nabi Muhammad.
Ketiga, sifat wajib yang dilambangkan oleh orang-orang untuk sifat kenabian, Nabi Muhammad misalnya, adalah akibat dari berbagai sifat yang baik yang dibutuhkan oleh manasuia yang dilakukan secara terus menerus tanpa pernah berubah. Hal ini karena Nabi memiliki prinsip yang sangat kuat. Nabi memang sangat respon terhadap lingkungan, namun seluruh tindakan lebih dikarenakan bersumber dari dirinya (wahyu). Lungkungan sehebat apapun, seganas apapun, berkat keteguhan iman Nabi Muhammad, beliau secara konsisten dapat melakukan berbagai sifat dan tindakan yang baik.


Fase Sifat Kenabian
Pernyataan di atas, sengaja dibuat sebagai pembuka untuk mempertegas opini kita bahwa sifat-sifat kenabian Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang dicitrakan oleh Nabi itu sendiri, tapi merupakan perasaan-perasaan yang diakumulasikan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya atau orang-orang yang mengenal diri Nabi walaupun mereka hidup jauh dari masa Nabi. Hal ini penting, agar kita memahami bahwa sifat-sifat kenabian merupakan buah prestasi bukan buah doktrinasi. Maka untuk mengikuti langkah fase sifat kenabian, yang terpenting adalah taburkan prestasi dan biarkan orang sekitar kita untuk menilai bagaimana kita. Selain itu, seluruh kebaikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, digerakkan oleh keimanannya yang kuat, keimanan yang bersumber dari wahyu Allah, keimanan yang membuahkan optiomisme  yang kuat. Maka lingkungan di sekitarnya, baik yang positif maupun yang negative, tidak membuatnya berubah pendirian.
Ada sifat yang pasti ada pada Nabi Muhammad yaitu sifat as shidiq (selalu benar), al amaanah (selalu terpercaya), al tabligh (menyampaikan, transparan), dan al fathanah (cerdas). Keempat sifat ini berbalikan dengan sifat muhal, yaitu sifat yang pasti tidak dimiliki oleh Nabi Muhammad yaitu al kidzib (berbohong), al hiayanah (berhianat), kitman (menyembunyikan kebenaran) dan baladah (bodoh). Semua sifat itu adalah sifat ideal yang dapat dimilki oleh siapapun, dan merupakan sifat yang dibutuhkan oleh siapapun. Bila saja sifat itu dapat dimilki oleh seseorang, maka alam sekitarnya, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya akan merasa tentram dan damai.
Sifat-sifat wajib bagi nabi, secara hirarkis memilki makna tersendiri dan merupakan fase dari sifat ideal manusia. Pertama sifat al shiddiq artinya benar. Benar dalam sifat kenabian bukanlah sifat kebenaran eksklusif, kebenaran yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad telah membuat orang sekitarnya mengakui bahwa itu adalah benar. Perkataan, diam dan tindakan Nabi Muhammad diakui sebagai kebenaran walaupun tidak semua yang membenarkan Nabi Muhammad menjadi pengikut Nabi Muhammad. Hal ini sekaligus memperkuat prinsip universalitas kebenanaran saat itu. Orang-orang dapat membenarkan apa yang menjadi prilaku Nabi tanpa harus menjadi pengikut Nabi.
Kebenaran merupakan fase awal untuk menapaki fase berikutnya. Setelah masyarakat merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi adalah benar, maka masyarakat memberikan kepercayaan (amanah) kepada Nabi Muhammad. Mandat yang diberikan oleh masyarakat kepada Nabi bukan dibeli dengan uang, jabatan atau pangkat, tapi prestasi yang gemilang sehingga masyarakat nyaman untuk menjadi ummatnya. Orang yang menjadi ummatnya tidak terlintas sedikitpun perasaan takut akan sengsara atau celaka ketika mengikuti pola hidup Nabi. Maka tidak ada umat yang manarik kepercayaannya kepada Nabi Muhammad.
Sebaliknya, bila kejujuran belum kita lakukan, atau kita masih dianggap oleh orang-orang di sekitar kita sebagai orang yang kidzib (bohong), maka tak mungkin kita mendapatkan amanah (Kepercayaan), kalaupun ada yang terlanjur memberikan amanah, maka akan menariknya kembali. Maka kejujuran mutlak harus dilewati untuk menuju fase amanah atau mendapat kepercayaan dari orang sekitar kita.
Ketika masyarakat telah memberikan amanah atau kepercayaan, berarti masyarakat tidak sekedar membenarkan tapi telah menitipkan sesuatu, atau paling tidak siap untuk menitipkan keselamatan dirinya. Sifat amanah ini tidak akan sempurna bila tidak disertai dengan sifat tabligh (menyampaikan sesuatu secara transparan). Sifat ini muncul karena masyarakat merasa bahwa segala hak kehidupannya terpenuhi oleh pola hidup Nabi. Komunikasi yang baik dan perlakukan adil membuat sifat tabligh diberikan kepada Nabi Muhammad. Masyarakat butuh informasi yang transparan dalam berbagai hal. Tak ditutup-tutupi dan adil serta proporsional. Tidak gamang karena kritik, serta berorientasi untuk ummat.
Konsistensi Nabi Muhammad untuk memperjuangkan ummatnya, membuat umat Nabi Muhammad menggantungkan segala kepercayaannya. Dan kepercayaan yang penuh kepada Nabi Muhammad dikarenakan orang-oarang di sekitar Nabi Muhammad merasa nabi Muhammad terbuka, transparan, tak ada yang ditutup-tutupi. Nabi Muhammad terbuka dengan siapapun.
Keterpenuhan tiga sifat itulah maka masyarakatpun menjuluki nabi Muhammad sebagai orang yang fathana atau cerdas. Ciri dari cerdas di sisni adalah munculnya masyarakat yang berprinsip pada kebenaran, berorientasi pada kesejahteraan umum (ummat) dan terpenuhinya berbagai informasi secara transparan sehinga berkurangnya saling curiga dan prasangka buruk yang selama ini menjadi pemicu perang antar suku di Arab.
Itulah fase sifat kenabian bila kita menginginkan untuk mengikuti pola sifat kenabian Muhammad. Fase tersebut memang dibuat oleh penulis untuk memudahkan kita melakukan dan mengikuti sifat Nabi Muhammad. Untuk Nabi sendiri, boleh jadi satu tingkahnya telah memenuhi keempat sifat tersebut. Maka setiap langkah Nabi Muhammad pastilah benar, memenuhi keinginan masyarakat, terbuka dan transparan serta cerdas.
Penulis adalah Guru Agama Islam SMP Negeri 6 Kota Cirebon.


 



KELAS KACA, KONSEP KELAS MASSA DEPAN


Profesionalitas guru akan terus ditunggu oleh masyarakat sejalan dengan dilakukannya program sertifikasi. Walaupun banyak informasi yang mengungkapkan bahwa guru tersertifikasi tidak mempunyai etos kerja yang lebih baik, bahkan boleh jadi lebih menurun, namun profesionalitas guru secara keseluruhan akan terus tetap  menjadi sorotan masyarakat, terutama masyarakat pengguna jasa sekolah. Pembuatan silabus, rencana pengajaran, evaluasi kelas dan banyak lagi aktivitas guru, yang selama ini masih merupakan kegiatan rutin guru yang bersifat rahasia, boleh jadi beberapa tahun kedepan akan menjadi bagian dari sorotan masyarakat.
Profesionalitas guru sekarang ini memang masih diukur dengan instrument yang sangat longgar dan hanya terukur dalam even-even tertentu saja. misalnya administrasi mengajar seperti Silabus, RPP, pemetaan, program semester, akan diperiksa hanya pada saat akreditasi, saat penilaian kinerja kepala sekolah, atau saat kepala sekolah memintanya. Itupun kadang dibuat dengan standar yang sangat rendah, misalnya hanya dengan copy paste.
Kenyataan tersebut memang karena banyak sebab. Ada yang disebabkan karena memang kemampuannya dalam membuat perangkat tersebut masih kurang, bisa juga karena motivasi yang kurang (malas) disebabkan karena sekolah tidak memberikan penghargaan atas kinerjanya, atau bisa juga karena selama ini memang tanpa administrasi ia aman-aman saja, tak menemui kendala apapun baik dalam mengajar maupun dalam evaluasi kinerjanya.
Selain itu, zaman dulu masih ada guru yanag membuat penilaian hanya melihat dari hasil ulangan semester saja, adalagi yang memberikan nilai hanya dari prilakunya saja. Nilai masih menjadi otoritas guru. Siswa tidak diberi peluang sedikitpun untuk menawar nilai. Ada juga yang memberikan penilaian dengan tanpa criteria penilaian yang jelas, atau menilai berdasarkan prinsip “suka dan tidak suka”. Bahkan masih banyak guru yang tidak mampu menunjukkan kekurangan siswa pada nilai apa ketika siswa menpertanyakan mengapa nilanya  kecil. Begitu kuasanya guru terhadap siswa, maka tak aneh jika ada orang tua mempertanyakan bagaimana cara mengajarnya sehingga anaknya bernilai kecil, reaksi guru adalah marah-marah, karena cara mengajar adalah hal yang sangat pribadi dan sepenuhnya hanya boleh dinilai oleh kalangan sendiri.

Pengertian Kelas Kaca
Alasan-alasan dan persoalan-persoalan tersebut di atas, boleh jadi beberapa tahun kedepan akan menjadi bumerang yang sangat berat bagi guru. Sejalan dengan kesadaran  masyarakat bahwa uang yang diberikan oleh pemerintah pada sekolah adalah pada dasarnya uang rakyat, yang diperoleh melalui pembayaran pajak misalnya, maka masyarakat sebagai pembayar pajak akan menuntut layanan yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar. Maka jangan aneh, bila zaman dahulu mempunyai anggapan ruang kelas adalah ruang privat bagi guru, akan berubah menjadi ruang terbuka yang dapat diakses oleh orang tua. Itulah yang dimaksud ruang Kelas Kaca.
Ruang kelas kaca adalah ruang transparan yang memungkinkan orang tua murid dapat melihat bagaimana seorang guru mengajar dan bagaimana anak mereka diperlakukan oleh guru serta respon anak mereka terhadap pelajaran yang sedang dipelajarinya. Maka ruang kelas kaca bukan lagi kelas yang diikuti oleh guru dan murid, tapi juga dikuti oleh orang tua siswa bahkan boleh juga oleh stekholder lainnya, seperti dari pengawas pendidikan atau tim penilai.
Ruang kelas kaca merupakan bukti profesionalitas guru. Karena guru adalah ujung tombak yanag langsung menyentuh siswa sebagai pengguna jasa pendidikan. Maka bisa jadi layanan guru akan menjadi salah satu cermin utama apakah sekolah telah memberikan layanan optimal atau tidak. Dampaknya, kwalitas layanan guru bisa jadi akan selalu dikaitkan dengan jumlah keuangan yang mereka (orang tua) siswa keluarkan untuk sekolah. Layanan guru akan menjadi lahan kritik yang paling pertama sekaligus akan menjadi bahan promosi yang paling ampuh.
Seluruh kebijakan sekolah, baik program maupun keputusan-keputusan yang menyangkut keuangan, kwalitas realisasinya akan ditentukan oleh layanan guru dalam kelas. Artinya ruang kelas bukan hanya berubah menjadi ruang public, tapi juga penilaian segala bentuk kinerja guru akan menjadi penilaian masyarakat. Tentu hal ini merupakan perubahan yang sangat besar. Rencana pengajaran, teknik evaluasi, materi, model pembelajaran, dan kreativitas guru di ruang kelas yang semula hanya dapat dilihat oleh kalangan sendiri, atau malah hanya oleh guru itu sendiri, beberapa tahun kedepan boleh jadi akan menjadi ruang terbuka yang dapat dinilai oleh siapapun.
Oleh karenanya, guru harus mau membuka diri untuk menerima saran-saran. Karena, bisa jadi orang tua yang merasa tidak tepat dalam memberikan layanan terhadap anaknya akan mengusulkan berbagai teknik, model atau malah menginginkan agar gurunya yang diganti. Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja terjadi dan harus siap dihadapi oleh guru bila ruang kelas kaca menjadi bagian dari budaya sekolah.
Yang paling mendesak adalah perlunya budaya siap berubah dari guru. Karena masih banyak guru yang sangat susah untuk berubah walupun dengan berbagai pelatihan dan seminarpun.  Beberapa ciri dari guru yang tidak siap berubah adalah di antaranya: tidak mau repot atau susah-susah, toh gajinya sama saja antara yang mengajar dengan baik dengan yang mengajar tidak baik, begitu alasannya. Selain itu, ciri lain guru yang susah berubah adalah ia  mersa paling baik dan paling benar dalam mengajar. Tipe guru ini biasanya sering menceritakan berbagai keberhasilan tapi tidak siap menerima kritik. Menyangka guru lain tidak sebaik dirinya. Dua sikap guru itulah yang sangat susah berubah.

Pembiasaan Supervisi Kepala Sekolah
Untuk menghadapi kelas kaca, maka kwalitas dan profesionalitas guru harus mulai ditata dan dikembangkan, guru harus mulai dengan budaya menerima kritik dan terbuka. Terbiasa meminta guru lain untuk menilai cara mengajarnya. Harus dipenuhi administrasi pengajaran dengan baik. Alasan apapun yang berakibat pada tidak primanya  layanan pada pendidikan akan tidak diterima oleh masyarakat sebagai penilai langsung kinerja guru dalam kelas kaca. Dan hal lain yang penting lagi adalah program supervisi kepala sekolah terhadap guru-guru perlu dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.
Selam ini dibeberapa sekolah, supervisi kepala sekolah tidak dapat dilaksanakan, kalaupun ada terkesan hanya formalitas. Alasannya bermacam-macam. Ada kepala sekolah yang mengatakan bahwa dirinya percaya bahwa guru-guru sudah baik mengajarnya, maka tidak perlu disupervisi. Ada yang berlasan dengan sedikit mengungkapkan rasa empatinya bahwa dirinyapun kalau diawasi tidak enak, maka ia tahu betul yang diinginkan oleh guru, maka ia tidak melakukan supervisi kelas. Tapi ada juga yang memang tidak mampu melakukan supervisi.
Tanpa mengecilkan peran kepala sekolah dalam peran supervisi informal lainnya, kiranya sekarang ini sudah saatnya kepala sekolah “tega” masuk ke kelas dan memberikan supervisi. Evaluasi menuju perbaikan yang terus menerus tanpa henti harus sudah menjadi budaya sekolah. Semua itu dilakukan dalam rangka memperbaiki kinerja guru dalam rangka memberikan layanan optimal pada pengguna jasa pendidikan
Supervisi kepala sekolah ke kelas, sangat membantu kesiapan guru dalam menghadapi ruang kelas kaca. Dengan supervisi kepala sekolah, paling tidak guru mendapatkan beberapa manfaat dari kegiatan tersebut, diantaranya: pertama, guru terbiasa diawasi, dinilai dan diberi masukan oleh orang lain. Hal ini sangat penting untuk mengubah budaya “merasa paling benar”. Kedua, guru akan mampu berdiskusi dengan baik untuk menyelesaikan suatu masalah dan berpola fikir tidak mencari alasan untuk membenarkan apa yang ia lakukan tapi berfikir mencari hal yang terbaik yang dapat dilakukan oleh guru. Ketiga, guru akan membudayakan perbaakan cara kerja yang terus menerus tanpa henti. Budaya ini sangat membantu untuk membentuk sikap profesional guru.
Keberanian Memulai
Program ruang kelas kaca memang sangat ideal, apalagi disertai juga ruang diskusi, sehinga setelah proses belajar mengajar dimulai, orang tua murid, guru dan kepala sekolah dapat berdiskusi untuk membicarakan hal-hal yang perlu diperbaikan dan dipertahankan dalam pengajaran. Namun yang paling penting adalah keberanian sekolah untuk membuka kelas kaca.
Kelas kaca akan menjadi barang baru bagi sekolah tapi sekaligus tantangan yang menyehatkan. Bagi sekolah yang merasa sudah baik dengan akreditasi memuaskan, dan dengan standar yang baik pula, perlu memulai membuka kelas kaca. Sejauh mana layanannya akan terukur di kelas kaca. Apa yang digembor-gemborkannya akan dibuktikan di ruang kelas kaca. Ruang yang akan menjadi bagian penilain yang langsung dilihat oleh masyarakat. Ruang yang mewakili nyali orang-orang yang ada di lembaga tersebut. Nyali untuk dinilai oleh masyarakat, itulah nyali guru professional.
·         Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 6 Kota Cirebon