Senin, 07 November 2011

SAYA DISURUH MEMBAWA BAKYAK KIAI ABBAS




Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu
Pengawal Kiai Abbas Waktu Perang
10 November 1945  di Surabaya


Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi  Keamanan mendarat di berbagai kota besar  di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari  perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHUAKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang  yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai dating, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah.kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rewmbang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka  yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bamboo runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempoat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yanag ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakyak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah  rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu –serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah  sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidaka lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk  menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada kelaurga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat  karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yanag bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.



BUNTET PESANTREN GAGAL KENA FITNAH





   Pondok Buntet Pesantren selalu menggelorakan peperangan terhadap penjajah Belanda. Hal itu jelas sekali dilakukan dari zaman Kiai Muqayyim sampai zaman Kiai Abbas. Artinya Buntet Pesantren jelas-jelas merupakan salah satu pesantren tua di Jawa Barat yang ikut serta meletakkan pondasi-pondasi negara ini. Maka siapapun dan apapun yang hendak mengacaukan negara ini pasti berhadapan juga dengan Buntet Pesantren hususnya dan pesantren pada umumnya. Komitmen pesantren terhadap nasionalisme akan selalu tangguh dan tetap, tak lekang dimakan oleh zaman dan keadaan. Membela negara kesatuan republik Indonesia adalah keputusan ahir dan mutlak. Tidak bisa ditawar lagi.
   Tapi komitmen Pondok Buntet Pesantren yang begitu tulus dan telah dibuktikan melalui sejarah perjuangannya,  masih saja ada pihak-pihak yang tidak percaya bahkan hendak memfitnah Buntet Pesantren. Untung Allah SWT menampakkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Ketika DI/TII mengadakan pemberontakan dan hendak mendirikan negara di wilayah Negara Republik Indonesia, Buntet Pesanatren termasuk pesantren yang menentang DI/TII dan harus diperangi karena dihukumi Bughat (makar), karena mereka akan mendirikan negara di atas negara yang sah. Namun komitmen Buntet Pesantren tersebut tidak sepenuhnya dipercayai oleh pihak luar. Bahkan sempat ada yang hendak memfitnah Pondok Buntet Pesanatren. Berkat kelincahan dan kepandaian para kiai, Buntet Pesantren menjadi selamat.
   Konon saat itu, menurut Kiai Zaini Dahlan, terdengar di Buntet Pesantren akan ada TNI yang akan melakukan sweeping karena diduga di Buntet Pesanatren banyak anggota DI/TII. Kiai Mustahdi dan  para kiai Buntet Pesantren lainnya menduga bahwa sweeping akan dilakukan oleh TNI yang tidak senang pada Buntet Pesantren. Itu hanya akal-akalan saja. Tapi para kiai bersepakat untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Demikian Kiai Hasyim Anwar menjelaskan kepada para pemuda Buntet Pesanatren.
   Penjelasan ini sengaja diberikan kepada para pemuda mantan tentara Hizbullah, karena menurut perkiraan Kiai Hasyim, agar tidak terjadi apa-apa di Buntet Pesantren perlu para pemuda mantan tentara hizbullah diberitahu untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Selain itu, sebelum subuh para pemuda tersebut sudah harus diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren.
   Maka pada saat sebelum subuh, para pemuda Buntet Pesantren diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren dengan beberapa kendaraan bak terbuka. Namun ternyata ada seorang pemuda mantan tentara Hizbullah yang tidak terangkut, yaitu Zaini Dahlan. Menurut Kiai Zaini Dahlan, dirinya semalaman tidur di masjid, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Begitupun ketika ia bangun lalu salat subuh, tidak ada yang mengingatkan bahwa dirinya sebagai pemuda Buntet Pesantren harus ke luar dari Buntet Pesantren. Selain itu, diakui oleh Kiai Zaini bahwa dirinya saat itu sangat ngantuk sekali, maka ketika selesai melakukan salat subuh, langsung tidur kembali di masjid.
   Sekira  pukul delapan pagi, Kiai Zaini terbangun dari tidurnya karena dikejutkan oleh suara gaduh di masjid. Ternyata personel TNI yang masuk ke masjid dengan tanpa membuka sepatu dan menendangi beberapa bangku yang biasa untuk membaca alQur’an, bahkan alQur’anpun banyak yang ditendangi dan diinjak-injak. Darah muda Kiai Zaini menggelora. “Kalau saja tidak ingat pesan Kang Asim (Kiai Hasyim Anwar- mantan komandan Hizbullah) pasti sudah saya lawan. Ukuran enam tujuh orang sih pasti bisa”, tutur Kiai Zaini saat bercerita pada penulis. Karena ingat pesan Kiai Hasyim Anwar, ahirnya Kiai Zaini tetap berada di masjid dan pura-pura tidur lelap.
   Selepas dzuhur, setelah situasi kembali seperti biasa dan pemuda Buntet Pesantren juga sudah kembali ke Buntet Pesantren, Kiai Zaini menceritakan kejadian di masjid yang baru saja ia lihat pada Kiai Hasyim. Kiai Zaini pun tak lupa menanyakan kenapa tentara yang jumlahnya hanya beberapa saja tidak boleh dilawan. Padahal mereka sudah kurang ajar. Masuk ke masjid tanpa membuka sepatu, selain itu juga merusak dan menendangi fasilitas masjid.
   Mendapat pertanyaan seperti itu, Kiai Hasyim memohon pengertian Kiai Zaini. “Kita sudah menduga bahwa mereka akan melakukan hal-hal yang membuat kita marah. Karena memang meraka sedang menjebak kita. Bila kita marah dan melakukan suatu tindakan kepada mereka (TNI), mereka pasti akan melaporkan kepada atasannya bahwa  Buntet Pesantren pusatnya DI/TII. Buktinya beberapa porsenel tentara yang sedang sweeping DI/TII di serang”, jelas Kiai Hasyim. “ Nah kalau ini terjadi, pasti Buntet Pesantren akan diserang habis-habisan”, tambah Kiai Hasyim.
Mendengar penjelasan Kiai Hasyim, Kiai Zaini Dahlan menjadi faham dan ia sangat beruntung dapat menahan diri tidak melawan tentara-tentara tersebut. Bila saja melawan, pasti berbahaya akibatanya.
   Kecurigaan pihak luar terhadap Pondok Buntet Pesantren mulai mereda, sejak salah seorang kiai dari Buntet Pesantren yaitu Kiai Mujahid Anwar  (kakak Kiai Hasyim Anwar) meninggal dunia karena baku tembak dengan DI/TII di Sumber Cirebon.