Selasa, 05 Juni 2018

KEKERABATAN DALAM ANCAMAN


KEKERABATAN  DALAM  ANCAMAN
MUNIB ROWANDI AMSAL HADI
Kekerabatan,  kekeluargaan dan pertemanan yang merupakan fondasi bersatunya masyarakat dan terciptanya kedamamain  dalam masyarakat,  kini oleh beberapa  “penipu” sedang dibidik sebagai media yang ampuh untuk melancarkan kejahatannya. Berbagai rekayasa penipuan seperti biro perjalanan umrah, koperasi, investasi dan berbagai macam bentuk  investasi    yang lain yang mengarah pada kejahatan dengan mengumpulkan dana dari masyarakat, menjadi  bukti nyata bahwa mereka memanfaatkan  nilai-nilai tradisional masyarakat tersebut untuk menjalankan kejahatannya.
Kekerabatan,  kekeluargaan,  pertemanan dan sifat kohesivitas lainnya, merupakan nilai tradisional yang merekatkan satu individu dengan individu yang lainnya sehingga terjalin kemesraan dalam masyarakat. Kemseraan yang menumbuhkan kekuatan yang hebat dalam menghadapi berbagai  persoalan yang ada pada masyarakat. Kohesivitas dalam masyarakat terbentuk karena berbagai sebab, di antaranya adalah karena hubungan persaudaraan (klan), karena hubungan  perkawinan, karena hubungan  ketetanggaan, karena hubungan kerja (profesi), karena hubungan pertemanan, karena hubungan guru–murid dan  karena hubungan  yang lainnya. Berbagai hubungan tersebut terjalin di tengah masyarakat dengan perekat utamanya adalah saling pengertian dan menumbuhkan saling percaya di tengah masyarakat.
Sifat saling pengertian dan saling percaya, menumbuhkan  sifat-sifat kerekatan  yang lainnya, semisal: saling melindungi, teposeliro, saling menghormati,  ewuh pakewuh, saling memaafkan, menghindari  konflik, dan sifat kerekatan positif lainnya. Namun  sifat kerekatan  positif tersebut, justru dilihat oleh”penipu”sebagai  media yang untuk melancarkan  niat jahatnya.
Menurut Hsu dan Koentjaraningrat (1990) manusia timur, termasuk Indonesia, secara otomatis telah tersedia  kebutuhan  yang sangat mendasar dari  kebutuhan  manusia yaitu lingkungan karib.  Lingkungan karib, menurut Koentjaraningrat (1990), satu sisi bernilai positif di sisi lain berdampak  negative. Bernilai positif karena kekerabatan merupakan kebutuhan  yang sangat pokok bagi  masyarakat yang secara otomatis  telah terpenuhi. Bangsa Indonesia tidak perlu lagi  mencari lingkungan karib. Lingkungan sekitarnya dengan  kerekatan telah membuatnya menjadi nyaman, dan mampu menjadi penolong pertama ketika mengalami berbagai  kesulitan. Budaya Indonesia telah secara otomatis menyediakan lingkungan karib.
Sisi negatifnya, menurut Koentjaraningrat (1990), karena  kebutuhan  pokoknya berupa lingkungan karib telah terpenuhi, maka  masyarakat  tidak memiliki  sikap gigih, tekun dan  ulet. Berbeda dengan orang Barat yang budayanya tidak menyediakan  lingkungan  karib, maka ia mencari lingkungan  karib di luar. Bila tidak berhasil, maka mereka melakukan apa saja agar mereka merasa bermanfaat. Bila  tidak terpenuhi juga, maka tak   segan mereka menjadikan binatang seperti anjing atau binatang lainnya,  untuk menggantikan lingkungan  karib mereka. Kegigihan  keuletan  dan  ketangguhan orang Barat dalam  memperjuangkan  sesuatu adalah sebagai upaya untuk mencari pengganti dari  lingkungan  karib yang tidak mereka dapatkan.
Peluang Kejahatan
Dua sisi  positif dan  negative  karena tersedianya  lingkungan karib,  oleh beberapa “penipu”dijadikan kesempatan untuk  meraup  keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Lingkungan karib yang dibangun dengan  saling pengertian dan saling percaya, menumbuhkan  saling melindungi, teposeliro, saling menghormati,  ewuh pakewuh, saling memaafkan, menghindari  konflik, dan sifat kerekatan positif lainnya,  justru dilihat oleh”penipu”sebagai  media yang tepat untuk melancarkan  niat jahatnya. Disisi  lain, sifat malas, ingin  cepat kaya dengan tanpa  susah dan sifat lainnya yang ditimbulkan  dari indahnya lingkungan karib juga peluang bagi penipu untuk  melancarkan kejahatannya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh  sebuah lembaga Koperasi CS Kota Cirebon   yang bergerak  di bidang koperasi simpan pinjam. Koperasi CS menawarkan produk kredit sepeda motor bagi  para anggotanya. Dalam program tersebut, bila  seseorang telah melunasi pembayaran  kredit tersebut, maka ia akan mendapatkan satu motor baru  tambahan. Program ini  tentu tidaklah masuk akal.  Maka siapapun tak akan percaya. Namun karena yang menjadi  penghubung dengan koperasi tersebut adalah rekan kerja, teman dekat bahkan  saudara, maka banyak orang yang tertarik.  Dengan sedikit dirasionalkan, walaupun tetap  tidak rasional, para penghubung koperasi  itu berhasil menarik  para anggota yang notabene adalah teman, rekan dan  kerabatnya sendiri. Dan memang bias ditebak. Setelah uang muka ( DP) dibayar, maka taka ada satupun dari mereka yang memperoleh  sepeda motor dan  uangnyapun tak kembali.
Para “penipu investasi” mengetahui betul bahwa kerekatan atau kekerabatan akan memuluskan  kejahatannya,  karena para korban  akan mempercayai orang-orang yang menawarkan program  koperasi yang notabene adalah kerabat, rekan  kerja bahkan saudara sendiri, walaupun  program itu tidak masuk akal. Kepercayaan  terhadap rekan, teman sekantor atau  malah  saudara, telah menghilangkan  kecurigaan para korban untuk  berfikir kritis.   Itulah yang membuat para korban masuk  dalam  jaringan. 
Beberapa pengamat social banyak berpendapat bahwa banyak korban yang masuk  dalam jerat investasi penipuan tersebut  karena melihat harga yang murah atau untung yang besar dalam waktu  singkat. Pendapat tersebut bias jadi benar, namun menurut pengamatan saya, banyaknya korban itu karena  ajakan  teman,  rekan kerja atau  malah saudara. Kepercayaan yang diborekkan  pada pengajak (seponsor) itulah yang membuat banyak korban  terperdaya.
Para “penipua investasi” menyadari  bahwa apa yang ia  lakukan akan membuat kecewa para korban. Tapi para penipu tersebut mengetahui betul  tentang prinsip  kerekatan para korban dengan pengajak (seponsor), maka para korban tidak  mungkin akan melapokan  persoalan ini  pada polisi. Rasa tidak ingin  mencelakai, teposeliro, saling menghormati,  ewuh pakewuh, dan menghindari  konflik cenderung lebih dipertimbangkan. Maka para korban  cenderung diam.
Fenomena Biro Umrah
Penipuan  berkedok Biro perjalan Umrah terus terungkap, baik yang bersekala nasional maupun local. Penipuan  ini merupakan penipuan  yang sudah direncanakan dan dilakukan secara massif. Bila  dilihat dari  aspek kekerabatan, penipuan  ini bukan hanya menghancurkan  kekerabatan karena keturunan atau karena rekan  kerja, tapi merusak  kerekatan  hubungan antara guru murid atau tokoh agamai dengan ummatnya.
Seperti halnya  yang dilakukan oleh sebuah biro umrah FT. Dengan hanya empat belas  juta rupiah, seorang dapat melaksanakan  umrah. Menurut Wiyadi,  seorang pengelola Biro Umrah, harga tersebut tidak masuk akal. Karena tiket satu kali jalan tujuan Arab Saudi saat itu kisaran enam juta. Bolak balik  berarti dua belas juta.  Sisa dua juta tidak mungkin  untuk membiayai  makan, penginapan dan  kebutuhan umrah lainnya.
Saya kira, apa yang menjadi  pertimbangan  Wiyadi tersebut, juga menjadi  pertimbangan masyarakat pada saat memilih biro umrah. Namun apa yang menjadi persoalan tersebut  telah  dipikirkan  matang-matang oleh para penipu.  Untuk meluluskan  niat jahatnya, pengelola biro akan  memberangkatkan orang-orang yang dianggap  memiliki  pengaruh, baik tokoh masyarakat ataupun tokoh  agama. Dan tokoh agama relative banyak  dipilih. Mereka dalam perjalan umrah  mendapatkan layanan  yang istimewa. Segala sesuatunya diservis dengan baik. Setelah  mereka pulang  ke kampong, masyarakat akan dating berkunjung untuk minta doa dan bertanya banyak hal, termasuk bertanya melalui  biro umrah apa para tokoh  agama  itu berangkat umrah dan bagaimana pelayanannya.
Bisa kita duga setelah itu. Pastilah banyak  orang yang tertarik  untuk umrah  lewat biro tersebut. Keraguan  telah  berubah menjadi  keyakinan karena telah dibuktikan oleh tokoh agama atau tokoh masyarajat yang mereka percayai. Maka  bisa di bayangkan  ketika para pengikut  tokoh agama itu tidak berangkat karena ditipu, kerekatan terhadap tokoh agama menjadi  berkurang, bahkan berubah menjadi keretakan yang terselubung. Walaupun tidak  tampak kekecewaan  mereka  terhadap tokoh agama,  karena menjaga kekerabatan dan kerekatan guru murid, namun secara laten banyak  masyarakat yang mulai mengendorkan hubungan  dengan tokoh masyarakatnya  atau para tokoh agamanya. Kepercayaannya tidak  lagi utuh. Dan pendangkalan kepercayaan  masyarakat terhap  tokoh  masyarakat dan tokoh agamanya, kini  sedang berlangsung secara massif. Maka persoalan  Biro Umrah yang gagal memberangkat para jamaah hajinya, bukan hanya persoalan  administrative, tapi  yang paling berbahaya adalah menghancurkan  kerekatan anatara tokoh agama dengan muridnya. Maka kejahatan  yang telah mereka lakukan perlu diganjar dengan balasan yang setimpal. Balasan yang membuat mereka jera.
Untuk  menghindari kejadian serupa, OJK sebagai  lembaga pengawas keuangan dan kemenag yang  memiliki  kewenangan dalam mengeluarkan izin operasional Biro  Umrah, harus bekerja ekstra, paling tidak, lembaga keuangan harus selalu  diawasi oleh  OJK. Begitupun  Biro Umrah harus selalu  diawasi  dan selalu dalam pantauan  kemenag.
Memberikan  arahan  dan  penjelasan kepada masyarakat tentang lembaga  keuangan yang sehat dan baik  serta Biro  Umrah yang legal, adalah upaya  yang patut dilakukan. Tapi, mengawasi lembaga keuangan dan  Biro Umrah secara terus menerus dan  menindak dengan tegas lembaga keuangan yang nakal dan Biro Umrah  yang digunakan  untuk menipu, adalah   tindakan  yang tepat dan  lebih efektif.

MUNIB ROWANDI AMSAL HADI
Staf Pengajar STIT Buntet Pesantren Cirebon

Rabu, 23 Mei 2018

KH. NAHDUDDIN ROYANDI ABBAS PEJUANG EKONOMI RAKYAT


KH.  NAHDUDDIN ROYANDI  ABBAS
PEJUANG EKONOMI RAKYAT
Munib Rowandi Amsal Hadi *

Pada sore kamis, berita meninggalnya KH. Nahduddin  Royandi Abbas tersebar melalui  akun facebook KH. Ghozy Mujahid,  keponakan KH. Nahduddin Royandi Abbas yang jugatinggal di  London. Berita tersebut tentunya membuat duka seluruh warga dan simpatisan  Pondok  Buntet Pesantren. Ucapakan bela sungkawa yang disampaikan lewat WA, facebook  PondokBuntet Pesantren terus  mengalir. Kiai Nahduddin Royandi Abbas meninggal di Bernet Community Hospital London pada rabu sore tanggal 25 April 2018. Menurut rencana akan dikebumikan di Buntet Pesantren Cirebon pada hari Ahad  tanggal 29 April  2018.
Bagi masyarakat yang pernah bertemu dan ngobrol  dengan Mbah Dien, panggilan akrab KH Nahduddin Abbas, pastilah amat terkesan pada caranya ia menemui masyarakat. Kepeduliannya terhadap wong cilik dan tidak  membeda-bedakan serta terbuka kepada siapa saja, itulah kesan  pertama  bagi siapapun yang bertemu  dengan  Mbah Dien. Sikap ini persis seperti sikap ayahnya,  Kiai Abbas, yang selalu  menghormati siapapun.
Mbah Dien, sejak tahun 2007 memimpin Pondok Buntet Pesantren Cirebon setelah sepeninggal kakaknya Kiai Abdullah Abbas. Dikalangan masyarakat,  Mbah Dien tidak  seterkenal kakaknya Kiai Abdullah Abbas yang masuk  dalam jajaran Kiai Khos. Hal ini karena Mbah Dien tinggal di London Inggris,  sehingga jarang statemennya muncul di media massa. Selain itu, Mbah Dien tidak terlibat dalam gegran  politik. Mbah Dien tidak pernah menyampaikan pernyataannya tentang politik,  wacana yang selalu  diusung olehnya  adalah upaya mensejahterakan masyarakat lewat ekonomi dan  pendidikan.
Santri Kelana
KH. Nahduddin Royandi Abbas adalah  putra terahir Kiai Abbas Abdul Djamil, pahlwan sepuluh November dari Pondok Buntet Pesantren. Ia lahir pada tahun  1933. Banyak orang menjuluki MbahDin  dengan   santri kelana. Julukan ini  disematkan  kepadanya   dikarenakan Mbah Dien terus  berkelana mencari ilmu dan ahirnya menetap di London Inggris. Mbah Din sejak kecil mendapat didikan  langsung dari ayahnya Kiai Abbas, selain didik  langsung oleh ayahnya, Mbah Din juga belajar di  MI dan MTS di lingkungannya sendiri yaitu di Buntet Pesantren Cirebon. Tamat dari  MTS , Mbah Din  melanjutkan  pendidikan di Lirboyo Kediri. Selepas dari Kediri, Mbah Din melanjutkan  SMA di Jakarta sambil bekerja pada perusahaan ekspor hewan hidup.
Sebagaimana tradisi pesantren yang sudah dilakukan oleh  para pendahulunya , yaitu belajar di Arab, maka Mbah Din pun  setelah lulus dari SMA   melanjutkan  pendidikan ke Arab Saudi. Di  sana  Mbah Din belajar  dibeberapa guru diantaranya adalah belajar pada Syeikh Yasin Padang dan Syeikh Hamid Albanjari.  Namun selain  belajar,  Mbah  Din juga bekerja di  KBRI Jeddah. Hal ini  dilakukan Mbah Din sejak   tahun 1957 sampai dengan tahun 1962. Pada musim haji, Mbah Din  sering diberi tugas khusus oleh KBRI, yaitu ditugaskan sebagai Kepala  Perwakilan  KBRI  di Kota Madinah.
Bila  para pendahulunya , setelah selesai belajar di Arab Saudi, biasanya lalu pulang ke Buntet Pesantren untuk  mengembangkan ilmunya dan membantu meningkatkan mutu pendidikandi Pesantren, serta  meneruskan  kepemimpinan para pendahulunya. Namun Mbah Din malah memilih  untuk   pergi ke Inggris dan bekerja  di KBRI London. Di KBRI   London ia  bekerja di bagian Ekonomi. Hal  ia  lakukan  sejak tahun 1963.
 Ketika berada di London, keinginan kuatnya  untuk  menuntut  ilmu  terus  membara. Maka Setelah setahun  berada di  London, pada tahun 1964,  ia tumpahkan gairah belajarnya itu dengan memasuki perguruan tinggi. Mbah Din  belajar di London University dari tingkat  diploma sampai   postgraduate dengan jurusan ekonomi internasional dan sejarah internasional. Lalu Mbah Din meneruskan belajar pada UCL University of North London derngan mengambil jurusan ekonomi perdagangan. Di perguruan yang sama, Mbah Din mengambil postgraduate pada jurusan ekonomi pembangunan.
Sebagai seorang santri, Mbah Din tidak lupa  terus memperkenalkan Islam Indonesia di London. Islam yang ramah  dan Islam  rahmatanlilalamin. Gerakannya  ini dikukuhkan dengan ikut serta mendirikan NU cabang istimewa London.  Di NU cabang istimewa London ini,  Mbah Din menduduki jabatan sebagai  musytasar. Kedudukan ini  ia jabat sejak Nu Cabang istimewa London  didirikan sampai sekarang.
Bank Tanpa  Bunga
Keinginan Mbah Din  untuk mensejahterakan  masyarakat sangatlah besar. Maka wajar saja  bila Mbah Din  selalu berupaya untuk  belajar tentang hal-hal  yang berkaitan dengan ekonomi. Selama  mudanya,  ketika ia  hidup di  London, pendidikan yang ia ambil cenderung berkaitan dengan  ekonomi. Kepedulian Mbah Din terhadap  masyakarakat kecil,  merupakan  didikan dari ayahnya  yaitu  Kiai  Abbas Abdul Djamil. Sebetulnya, hampir seluruh anak Kiai  Abbas, yaitu Kiai Mustahdi, Kiai Mustamid dan  Kiai Abdullah dan Kiai Nahduddin,  dididik oleh Kiai Abbas untuk  peduli dan peka pada masyarakat,  terutama wong cilik. Maka, hampir semua  putra Kiai Abbas sangat peduli pada masyarakat, teruma  wong cilik.
Selain  peduli  pada masyarakat, Kiai  Abbas juga mengajarkan perlunya mensejahterakan masyarakat melalui gerakan ekonomi. Kiai Abbas sendiri  terlibat langsung pada gerakan organisasi  dagang Sarekat Dagang Islam (SDI). Persekutuan  para pedagang  ini didirikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warganya,  terutama masyarakat yang memiliki usaha batik. Kiai Abbas menjadi penasehat SDI  pada saat  SDI  dipimpin  oleh KH. Samanhudi, yang juga muridnya sendiri.
Ketertarikan Mbah Din  pada peningkatan ekonomi  masyarakat bukanlah hal  aneh, karena ia dididik oleh Kiai Abbas agar mampu mensejahterakan masyarakat lewat gerakan ekonomi. Apa yang ditanamkan oleh ayahnya,  kiai Abbas, dibuktikan oleh  Mbah Din dengan upayanya untuk  memajukan  Pondok Buntet Pesantren dibidang pendidikan  yang berbasis ketrampilan dan  lembaga-lembaga keuangan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Kini dalam kepemimpinannya, di Buntet Pesantren telah berdiri SMKNU Mekanika, Lembaga Keungan Mikro (LKM) dan Toko Buntet Mart  serta  Sekolah Tinggi  Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren Cirebon.

Selain upaya kongkrit yang sudah dilakukan, Mbah  Dinjuga sering melontarkan gagasan  yang manarik, diantaranya adalah gagasan  yang dilontarkan  oleh  Mbah Din  pada saat  ia   diundang oleh  BI  untuk menyampaikan gagasannya tentang ekonomi. Pada saat  itu   Mbah Din  menyodorkan alternative menabung tanpa  bunga. Mbah  Din memberikan salah satu solusi yang mungkin bisa dilakukan untuk umat Islam yaitu   investasi dalam jumlah tertentu tanpa bunga, tapi diberi kemungkinan untuk mendapatkan hadiah utama atau bonus yang cukup menarik., sehingga diharapkan akan banyak umat  Islam yang tertarik untuk menabung.  Dengan  cara ini, umat Islam akan  tertarik untuk menabung dan mengejar target  menabungnnya karena tertarik pada bonus atauu  hadiah. Dan bila  uang telah  terkumpul  banyak, tentunya  akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai modal. Di Inggris,  menurut MbahDin,  cara itu disebut “premium bond”, yang dilaksanakan dan dikelola oleh badan Negara   khusus.
Keseriusan  Mbah  Din dalam  menggagas ekonomi  rakyat, juga terlihat dari keseriusannya setiap kalimembahas tentang kesejahteraan rakyat. Ia seringkali mengingatkan  kepada santri  dan teman diskusinya dan  ini ia  lontarkan ketika berbicara atas nama  pesantren agar umat Islam serius dalam menangani masalah kesejahteraan  masyarakat lewat peningkatan ekonomi  masyarakat. Keseriusan ini  sejalan dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi  dalam menangani  ekonomi  masyarakat, juga karena tinggkat urgensinya.   Menurut Mbah Din,  mengatur atau memanage  bidang ekonomi keuangan  adalah merupakan separuh dari masalah kehidupan. Maka dalam merencanakan persoalan ekonomi harus melalui  feasibility study, yaitu proses yang terncana dan terukur serta dapat diduga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan  datang. Karena masalah ekonomi  ini adalah separuh masalah hidup, maka penanganannya  harus ekstra serius,terencana dan terukur.  Mbah Din juga mengingatkan pada  lembaga keuangan agar ketika memberikan loan atau pinjaman  harus tepat sasaran. 
Demikian beberapa  hal singkat berkaitan dengan Mbah Din. Kini ia  telah tiada. Banyak hal yang sudah ia lakukan untuk  umat ini. Walau jarak yang jauh, antar London dan Cirebon, namun karena ketulusanmu, kami semua, masyarakat dan  para santri  terasa sangat dekat denganmu. Kala pagi, saat engkau berada  di  Buntet Pesantren, setelah engkau  melaksanakan salat subuh, para santri dan   masyarakat dengan mudah dapat bertemu dan bercengkrama  denganmu. Engaku menyalami kami dengan tulus dan  mendengarkan ocehan kami  dengan sabar. Selamat jalan Mbah  Din… selamat jalan ekonom santri. Kami jadi saksi atas pergulatan  dan  perjuanganmu….  Selamat jalan….. semoga engkau  mendapatkan ampunan  dari Allah dan Allah berkenan menempatkan  engkaun di tempat yang indah.  Tempat di sisiNya. Amien.

·      Munib Rowandi  Amsal Hadi
Sekretaris Bidang Pendidikan
YLPI Buntet Pesantren Cirebon





KH. NAHDUDDIN ROYANDI ABBAS SANTRI KELANA


KH. NAHDUDDIN ROYANDI ABBAS
SANTRI KELANA
OLEH.: Munib Rowandi Amsal Hadi
Berita meninggal KH. Nahduddin Royandi Abbas sesepuh Pondok Buntet Pesantren, sangat mengagetkan  keluarga besar Pondok Buntet Pesantren. Berita mengagetkan pertama diterima oleh masyarakat Buntet pesantren  dari  akun facebook KH. Ghozy Mujahid,  keponakan KH. Nahduddin Royandi Abbas yang juga tinggal di  London. Berita tersebut tersebar pada sore hari pada hari rabu tanggal 25 April 2018. Pengurus  Pondok Buntet Pesantren Cirebon baru mengumumkan kematian Kiai Nahduddin Royandi Abbas secara resmi pada malam hari, sekitar pukul 21:00.
KH. Nahduddin  Royandi Abbas memang dua minggu sebelumnya tersebar berita sedang mengalami sakit dan masuk  di ruang  intensive pada rumah sakit Bernet Community Hospital di London Inggris. Bahkan sempat tersiar informasi bahwa kondisi Kiai Dudin, begitu masyarakat biasa memanggilnya, mengalami kritis. Kesehatan Kiai Dudin menurun tersebar sejak  dua bulan sebeum kematiannya. Pada peringatan  Haul Pondok Buntet Pesantren pada tanggal  7 April 2018 juga Kiai Dudin tidak dapat pulang ke  Buntet Pesantren. Biasanya, tiga bulan sebelum haul, Kiai Dudin sudah berada di Buntet Pesantren.
Santri kelana
Kiai Duddin adalah putra terahir Kiai Abbas Abdul Jamil. Ia diangkat menjadi sesepuh Pondok  Buntet Pesantren menggantikan kakaknya, Kiai Abdullah Abbas, pada tahun 2007. Kiai Duddin sejak tahun 1963 menetap di  London Inggris sampai sekarang.   Karena  menetap di Inggris itulah banyak orang menjuluki Kiai Duddin dengan santri kelana. Kiai Duddin berkelana mencari ilmu sejak masih muda.
Pendidikan awal Kiai Duddin diperoleh dari kedua  orang tuanya. Kiai Duddin didik oleh kedua orang tuanya di Pondok Buntet Pesantren  yang dipimpin oleh ayahnya Kiai Abbas. Selain mendapat didikan langsung oleh kedua orang tuanya, Kiai Duddin juga mengenyam pendidikan  di MI Wathoniyah Putra Buntet Pesantren. MI Watoniyah Putra didirikan oleh KH. Abbas pada tahun 1928. Pada saat itu Kiai Abbas menggelorakan semangat pendidikan untuk seluruh masyarakat dengan gerakan “Ibnul Wathan”. Penanaman kecintaan terhadap Negara melalui  pendidikan digagas dalam rangka mempersiapkan anak bangsa untuk merebut kemerdekaan dan bersaing dalam memajukan kesejahteraan rakyat.

Setelah lulus dari MI, Kiai Duddin melanjutkan sekolah di MTS  di lingkungan Buntet Pesantren. Pendidikan dasar ini hampir harus dilalui oleh sebagian besar warga Pondok Buntet Pesantren,  terutam putra-putra Kiai. Selepas MTS, Kiai Duddin melanjutkan  belajar di  Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Pondok pesantren  ini didirikan oleh Mbah Manaf dan ikut serta dalam pendirian  pondok  ini ayah Kiai Duddin yaitu Kiai Abbas. Konon pada saat itu, wilayah sekitar pondok Lirboyo masih banyak orang jahat yang selalu mengganggu kegiatan pengajian  yang dilangsungkan di  Pondok Lirboyo, sehingga untuk  mengamankan kegiatan di Pondok tersebut, Mbah  Manaf meminta bantuan Kiai Abbas yang terkenal digjaya. Bahkan Kiai Abbas sempat mengajar di sana pada saat pertama kali  pondok ini  baru berdiri.
Mbah Manaf sudah berkenalan lama dengan Kiai Abbas. Pertemuan  keduanya terjadi  pada saat keduanya belajar pada  Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim Asy’ri  sendiri pondok pesantren atas saran Kiai Abdul Jamil, ayah Kiai Abbas. Kala itu, pada saat Kiai Abdul Jamil berada  di Makkah, dan mengikuti halaqah (kumpulan diskusi) di sana, ia melihat salah seorang anak muda yang sedang memipin halaqah yang dinilai oleh Kiai Abdul Jamil  cukup  cakap dan  mupuni  ilmunya, pemuda itu bernama Hasyim Asy’ari . Maka Kiai  Abdul Jamil  menyarankan agar Kiai Hasyim Asy’ari nanti sepulang ke Indonesia agar mendirikan pondok pesantren.
Namun  permintaan Kiai Abdul Jamil tersebut tidak langsung disambut dengan baik. Kiai Hasyim  Asy’ari malah balik bertanya pada Kiai Abdul Jamil, jika nanti dirinya mendirikan pondok pesantren  siapa yang mau nyantri?. Kiai Abdul Jamil dengan tegas menjawab bahwa nanti yang akan menjadi santrinya adalah anak-anaknya. Maka pada saat Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren, Kiai Abdul Jamil  mengirim putra-putranya untuk belajar pada Kiai Hasyim Asy’ari. Saat itulah Kiai Abbas Abdul Jamil bertemu dengan Mbah Manaf.
Pulangdari  Lirboyo, Kiai Duddin meneruskan berkelana ke Jakarta. Di Jakarta ia melanjutkan  pendidikan tingkat SMA sambil bekerja di sebuah perusahaan ekspor hewan  hidup. Pada perusahaan tersebut ia  bertugas mengecek jumlah hewan  yang hendak  dikirim ke laur negeri dan juga mengecek kesehatannya. Pekerjaan ini selesai ketika sekolahnya tamat. Selesai  SMA, Kiai Duddin mengikuti langkah kebiasaan keluarganya, yaitu  belajar di Arab Saudi. Pada tahun 1957,  Kiai Duddin menepuh pendidikan di Arab Saudi. di antara gurunya adalah  Syeikh Yasin Padang dan Syeikh Hamid Albanjari. Selain belajar, di Arab Saudi.   Kiai Duddin juga  bekerja di  KBRI Jeddah. Pada saat musim  haji, Kiai Duddin sering mendapat tugas dari KBRI untuk menjadi perwakilan KBRI di Kota Madinah. Kegiatan ini  berlangsung sampai  tahun 1962.
Selepas dari Arab Saudi, Kiai  Duddin  tidak mengikuti langkah yang menjadin tradisi kelaurganya, yaitu  pulang ke Indonesia untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya  dan Arab Saudi dan ikut  mengembangkan Pondok Buntet Pesantren serta meneruska kepemimpinan orang tuanya. Kiai Duddin malah melanjutkan  berkelananya ke Inggris. Pada tahun 1963 Kiai Duddin meneruskan perjalanan ke London Inggris. Di sana ia bekerja pada KBRI  di London di bagian Ekonomi.
Sebagai seorang santri, gairah belajar Kiai Duddin terus membara. Setelah setahun bekerja  di  KBRI London Inggris, Kiai Duddin  meneruskan belajar   di London University dari tingkat  diploma sampai   postgraduate dengan jurusan ekonomi internasional dan sejarah internasional. Masih tetap meras a kurang, Kiai Duddin  meneruskan belajar pada UCL University of North London derngan mengambil jurusan ekonomi perdagangan. Dan di perguruan yang sama, Kiai Duddin mengambil postgraduate pada jurusan ekonomi pembangunan.
Di  Inggris Kiai Duddin  membuat comunitas muslim yang terdiri  dari muslim Pakistan, Muslim Bangladesh, Muslim  India, Muslim  Nepal dan tentunyaMuslim Indonesia dan  orang-orang  Islam dari  negera-negara yang lain. Komunitas ini secara priodik melakukan pertemuan (pengajian) untuk menambah pengetahuan dan membentuk silaturahmi. Kiai duddin  juga meprakarsai pendirian masjid di sana. Selain  itu, sebagai seorang santri, Kiai Duddin memprakarsai bendirinya NU Cabang Istimewa London. Pada lembaga ini, Kiai Duddin menjadi penasehat, sejak  didirikan ssampai sekarang.
Sepeninggalnya Kiai Abdullah Abbas, kakak Kiai Duddin, Pondok Buntet Pesantren meminta Kiai Duddin untuk memimpin Pondok Buntet Pesantren.   Maka  mulai tahun 2007, Kiai Duddin  menjadi sesepuh pondok Buntet Pesantren. Jarak yang jauh, yaitu anatara London Inggris dan Cirebon Indonesia, tidak membuat rintangan baginya  untuk  terus memajukan Pondok Buntet Pesantren.  Dalam  kepemimpinannya, Pondok  Buntet Pesantren kini  menambah fasilaitas layanan pendidikan dan layanan ekonomi. Di Buntet Pesantren telah berdiri SMK Mekanika NU Buntet Pesantren, LKM , yaitu lembaga keuangan yang bergerak pada peminjaman uang dengan bunga ringan. Berdiri juga Toko Buntet Mart yang dibangun dengan missi memberikan layanan dagangan dengan barang yang murah dan berkualitasuntuk santri dan  masyarakat sekaitar. Dibangun juga STIT (Sekolah Tinggi Ilmu  Tarbiyah)  Buntet Pesantren.
Buntet Pesantren dalam  kepemimpinan Kiai Duddin cenderung focus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kiai Duddin  berharap  santri keluaran Pondok Buntet Pesantren,selain  mendapatkan  ilmu agama  Islam, juga memiliki keterampilan  sehingga akan  mandiri  ketika terjun ke masyarakat. Kaia Duddin sangat serius  ketika membicarakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kiat untuk mensejahterakan  masyarakat, Kiai Duddin pernah melontarkan  idenya yaitu agar masyarakat didorong untuk menabung dengan serius dengan iming-iming ada hadiah atau bonus yang menarik bagi penabung yang telah sampai pada jumlah tertentu, tidak  dengan memberikan bunga.
Kiai Duddin  juga mengingat umat Islam  agar secara seirus membicarakan dan mengupayakan kesejahteraan rakyat lewat pemberdayaan ekonomi, hal itu karena mengingat pentingnya pemenuhan  ekonomi bagi  kesejahteraan  rakyat, juga karena sulitnya pengupayaan kesejahteraan lewat ekonomi. Maka menangani  kesejahteraan  rakyat  ini arus dilakukan  dengan sangat serius. Menurut Mbah Din,  mengatur atau memanage  bidang ekonomi keuangan  adalah merupakan separuh dari masalah kehidupan.
Selamt Jalan…
Kiai Duddin kini telah tiada. Ia  kini akan  meneruskan berkelana menuju Allah SWT. Menuju Sang Kasih  yang selalu memberi  kasih kepada hamba-hamba yang terkasih. Semoga dengan  kasihNya, Allah akan memaafkan segala kesalahannya, dan menerima segala amal salehnya. Semoga Allah memberinya tempat  yang indah. Tempat di  sisiNya. Amieen.

Sabtu, 31 Desember 2011

KIAI MUJAHID DITEMBAK DENGAN PISTOL SENDIRI


DI/TII telah diputuskan menjadi kelompok yang melakukan bughat (makar). Maka harus diperangi karena hendak mendirikan negara di atas negara yang sah. Selain itu, gerombolan yang dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo ini sering menggelisahkan masyarakat. Mereka sering masuk kampung dan mengambil paksa harta masyarakat. Membuat  banyak masyarakat Buntet Pesantren yang merasa tercekam ketakutan. Untuk melindungi masyarakat, dibuatlah penjagaan oleh masyarakat dengan nama “pagar betis” selain itu DI/ TII juga sering merusak fasilitas umum milik negara.
Seperti yang terjadi pada saat Kiai Mujahid Anwar ditembak. Peristiwa itu bermula dari sebuah berita yang diterima oleh Kiai Mujahid Anwar bahwa pada jam sembilanan DI/TII akan turun ke Sumber. Mendengar berita demikian, Kiai Mujahid sebagai Camat Sumber, langsung pagi-pagi turun ke Sumber, maksudnya untuk mengamankan wilayah Sumber terutama Rumah Sakit Paru Sidawangi Sumber.
Dan benar dugaannya. Belum jam sembilan DI sudah banyak berada didaerah Sumber dan bergerak menuju arah ke Sidawangi. Kiai Mujahid mencoba untuk menghentikan pergerakan mereka. Namun kekuatan mereka lebih banyak. Kiai Muajhid tidak dapat berbuat banyak. Konon menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Kiai Mujahid pada saat itu dikepung oleh beberapa anggota DI karena Kiai Mujahid memakai pakaian dinas kecamatan. Saat itu pula terjadi adu mulut dan baku hantam. Konon Kiai Mujahid ditembak oleh anggota DI berkali-kali namun tidak apa-apa. Sementara tembakan Kiai Mujahid yang diarahkan kepada anggota DI dapat  melukai beberapa anggota DI. Ahirnya ada beberapa anggota DI yang berinsiatif merebut senjata milik Kiai Mujahid. Kiai Mujahid dengan segala kemampuan mempertahankan senjata tersebut. Namun karena kekuatan kalah banyak ahirnya senjata yang berupa pistol itu berhasil direbut oleh DI dan ditembakkan ke arah Kiai Mujahid. Dan karena tembakan itulah Kiai Mujahid ahirnya meninggal dunia.



Senin, 07 November 2011

SAYA DISURUH MEMBAWA BAKYAK KIAI ABBAS




Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu
Pengawal Kiai Abbas Waktu Perang
10 November 1945  di Surabaya


Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi  Keamanan mendarat di berbagai kota besar  di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari  perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHUAKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang  yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai dating, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah.kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rewmbang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka  yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bamboo runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempoat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yanag ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakyak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah  rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu –serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah  sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidaka lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk  menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada kelaurga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat  karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yanag bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.



BUNTET PESANTREN GAGAL KENA FITNAH





   Pondok Buntet Pesantren selalu menggelorakan peperangan terhadap penjajah Belanda. Hal itu jelas sekali dilakukan dari zaman Kiai Muqayyim sampai zaman Kiai Abbas. Artinya Buntet Pesantren jelas-jelas merupakan salah satu pesantren tua di Jawa Barat yang ikut serta meletakkan pondasi-pondasi negara ini. Maka siapapun dan apapun yang hendak mengacaukan negara ini pasti berhadapan juga dengan Buntet Pesantren hususnya dan pesantren pada umumnya. Komitmen pesantren terhadap nasionalisme akan selalu tangguh dan tetap, tak lekang dimakan oleh zaman dan keadaan. Membela negara kesatuan republik Indonesia adalah keputusan ahir dan mutlak. Tidak bisa ditawar lagi.
   Tapi komitmen Pondok Buntet Pesantren yang begitu tulus dan telah dibuktikan melalui sejarah perjuangannya,  masih saja ada pihak-pihak yang tidak percaya bahkan hendak memfitnah Buntet Pesantren. Untung Allah SWT menampakkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Ketika DI/TII mengadakan pemberontakan dan hendak mendirikan negara di wilayah Negara Republik Indonesia, Buntet Pesanatren termasuk pesantren yang menentang DI/TII dan harus diperangi karena dihukumi Bughat (makar), karena mereka akan mendirikan negara di atas negara yang sah. Namun komitmen Buntet Pesantren tersebut tidak sepenuhnya dipercayai oleh pihak luar. Bahkan sempat ada yang hendak memfitnah Pondok Buntet Pesanatren. Berkat kelincahan dan kepandaian para kiai, Buntet Pesantren menjadi selamat.
   Konon saat itu, menurut Kiai Zaini Dahlan, terdengar di Buntet Pesantren akan ada TNI yang akan melakukan sweeping karena diduga di Buntet Pesanatren banyak anggota DI/TII. Kiai Mustahdi dan  para kiai Buntet Pesantren lainnya menduga bahwa sweeping akan dilakukan oleh TNI yang tidak senang pada Buntet Pesantren. Itu hanya akal-akalan saja. Tapi para kiai bersepakat untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Demikian Kiai Hasyim Anwar menjelaskan kepada para pemuda Buntet Pesanatren.
   Penjelasan ini sengaja diberikan kepada para pemuda mantan tentara Hizbullah, karena menurut perkiraan Kiai Hasyim, agar tidak terjadi apa-apa di Buntet Pesantren perlu para pemuda mantan tentara hizbullah diberitahu untuk tidak melakukan tindakan apa-apa. Selain itu, sebelum subuh para pemuda tersebut sudah harus diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren.
   Maka pada saat sebelum subuh, para pemuda Buntet Pesantren diungsikan ke luar daerah Buntet Pesantren dengan beberapa kendaraan bak terbuka. Namun ternyata ada seorang pemuda mantan tentara Hizbullah yang tidak terangkut, yaitu Zaini Dahlan. Menurut Kiai Zaini Dahlan, dirinya semalaman tidur di masjid, sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Begitupun ketika ia bangun lalu salat subuh, tidak ada yang mengingatkan bahwa dirinya sebagai pemuda Buntet Pesantren harus ke luar dari Buntet Pesantren. Selain itu, diakui oleh Kiai Zaini bahwa dirinya saat itu sangat ngantuk sekali, maka ketika selesai melakukan salat subuh, langsung tidur kembali di masjid.
   Sekira  pukul delapan pagi, Kiai Zaini terbangun dari tidurnya karena dikejutkan oleh suara gaduh di masjid. Ternyata personel TNI yang masuk ke masjid dengan tanpa membuka sepatu dan menendangi beberapa bangku yang biasa untuk membaca alQur’an, bahkan alQur’anpun banyak yang ditendangi dan diinjak-injak. Darah muda Kiai Zaini menggelora. “Kalau saja tidak ingat pesan Kang Asim (Kiai Hasyim Anwar- mantan komandan Hizbullah) pasti sudah saya lawan. Ukuran enam tujuh orang sih pasti bisa”, tutur Kiai Zaini saat bercerita pada penulis. Karena ingat pesan Kiai Hasyim Anwar, ahirnya Kiai Zaini tetap berada di masjid dan pura-pura tidur lelap.
   Selepas dzuhur, setelah situasi kembali seperti biasa dan pemuda Buntet Pesantren juga sudah kembali ke Buntet Pesantren, Kiai Zaini menceritakan kejadian di masjid yang baru saja ia lihat pada Kiai Hasyim. Kiai Zaini pun tak lupa menanyakan kenapa tentara yang jumlahnya hanya beberapa saja tidak boleh dilawan. Padahal mereka sudah kurang ajar. Masuk ke masjid tanpa membuka sepatu, selain itu juga merusak dan menendangi fasilitas masjid.
   Mendapat pertanyaan seperti itu, Kiai Hasyim memohon pengertian Kiai Zaini. “Kita sudah menduga bahwa mereka akan melakukan hal-hal yang membuat kita marah. Karena memang meraka sedang menjebak kita. Bila kita marah dan melakukan suatu tindakan kepada mereka (TNI), mereka pasti akan melaporkan kepada atasannya bahwa  Buntet Pesantren pusatnya DI/TII. Buktinya beberapa porsenel tentara yang sedang sweeping DI/TII di serang”, jelas Kiai Hasyim. “ Nah kalau ini terjadi, pasti Buntet Pesantren akan diserang habis-habisan”, tambah Kiai Hasyim.
Mendengar penjelasan Kiai Hasyim, Kiai Zaini Dahlan menjadi faham dan ia sangat beruntung dapat menahan diri tidak melawan tentara-tentara tersebut. Bila saja melawan, pasti berbahaya akibatanya.
   Kecurigaan pihak luar terhadap Pondok Buntet Pesantren mulai mereda, sejak salah seorang kiai dari Buntet Pesantren yaitu Kiai Mujahid Anwar  (kakak Kiai Hasyim Anwar) meninggal dunia karena baku tembak dengan DI/TII di Sumber Cirebon.