Jumat, 28 Desember 2018

PENTINGNYA MEMAHAMI CARA BELAJAR


PENTINGNYA MEMAHAMI CARA BELAJAR
RISA HARISATULMILLAH

Kedudukan ilmu sangatlah tinggi. Dengan ilmu Allah memperlihatkan kehebatan Nabi Adam AS atas para malaikat dan memerintahkan mereka agar bersujud kepada beliau[1].Rasulullah SAW bersabsda : “menuntut ilmu hukumnya fardlu bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan”. Kewajiban tersebut menguatkan betapa ilmu memilki peran sangat penting. Sebagai  contoh,  melaksanakan salat merupakan salah satu kewajiban setiap muslim. Maka, wajib bagi setiap muslim memiliki ilmu yang berkaitan dengan salat.[2]
Ilmu tidak bisa dibeli dengan uang, Kita harus menjadi hambanya ilmu supaya kita bisa mendapatkannya. bahkan seorang genius pun harus menundukkan kepalanya terhadap ilmu agar ilmu tersebut bisa dipelajarinya. Saya pernah mendengar cerita suami dari cucu pak Habibie yang menceritakan tentang perjuangan Pak Habibie untuk bisa bersekolah diluar negeri. Pak Habibie terkenal sebagai orang yang sangat genius yang bisa membuat pesawat terbang. Tapi perlu kita ketahui perjuangan sebelum bersekolah di luar negeri beliau harus belajar tiap hari. Beliau hanya tidur dua jam dalam sehari. Inilah yang membuktikan kedudukan ilmu sangatlah tinggi hingga orang genius pun tetap harus belajar.
Sekarang, banyak pelajar terpaksa belajar hanya karena mengugurkan kewajiban harus belajar. Mereka belajar hanya agar sama dengan teman seusianya. Niat untuk mengerti apa yang dipelajari saja mereka tidak mempunyai. Yang penting dia hanya bersekolah menuruti keinginan orang tuanya dan mengganggap sekolah bagaikan tempat bermain yang bisa berkumpul dengan teman-temannya untuk bermain bersama atau sekedar berbagi cerita.
Tujuan Pendidikan juga seolah tergantikan. Bukan untuk mencerdaskan pelajar, melainkan mendapatkan nilai tinggi. Banyak para orang tua yang menganggap nilai akademis yang terpenting, sehingga para pelajar dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi. Inilah salah satu faktor beberapa pelajar yang datang ke sekolah hanya ingin dianggap lumrah dengan teman sebayanya. Beberapa   pelajar tersebut banyak yang tak percaya diri karena mendapatkan nilai rendah. Meraka mengecap bahwa belajar adalah hal yang sangat membosankan. Mereka  beranggapan bahwa sekeras apapun mereka belajar tetap saja ia akan mendapatkan nilai rendah. Padahal hal yang terpenting dalam belajar adalah bagaimana cara belajar.
Banyak juga pelajar yang tekun akan tetapi gagal menggapai manfaat dan buahnya ilmu  karena mereka salah jalan dan mengabaikan persyaratan yang tidak lain adalah cara belajar, padahal siapapun yang salah jalan pasti tersesat dan gagal mencapai tujuan.[3]. Inilah yang melatar belakangi syaikh Az Zarnuji memberi judul kitabnya Ta’limul Muta’allim Thariqat Ta’allum yang berarti pelajaran bagi pelajar/  penuntut ilmu akan jalannya/caranya belajar[4]
Banyak pelajar yang tidak mengerti akan pentingnya cara belajar. Padahal hal itulah yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Jika pelajar tidak mengerti cara belajar seakan-akan para pelajar tersebut didorong masuk ke dalam kolam renang tanpa diajarkan bagaimana cara berenang. Beberapa dari pelajar-pelajar tersebut mampu belajar  mengayuh dan berhasil, tetapi akan lebih banyak pelajar yang tenggelam.
Hal  inilah yang mendasari sekolah bisnis di Bruklyn pada minggu pertama dari kurikulum enam minggu,  digunakan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan belajar yang mendasar seperti cara mencatat,  menghafal dan membaca cepat. Sekolah ini juga pada saat yang bersamaan berupaya menciptakan suasana aman dan penuh kepercayaan diantara murid dan instruktur. Sehingga para pelajar mampu berkata seperti ini, “Sekolah ini memberikan bekal lebih banyak dari pada menghabiskan waktu empat tahun di kampus”. [5]
Berdasarkan pengamatan  buku Bacakilat For Students, para pelajar harus menanggung beban berat yakni dengan banyaknya kegiatan yang harus dijalani seperti bersekolah, mengerjakan tugas atau PR dari guru, ekstrakulikuler, kursus dan lain-lain. [6] Pelajar dituntut untuk belajar secara singkat, efektif, dan efisien namun dengan hasil maksimal. Oleh Karena itu pelajar membutuhkan cara belajar untuk memanfaatkan waktu yang singkat namun hasil maksimal [7]
Masih banyak pelajar yang menutup mata tentang cara belajar. Mereka hanya belajar pada saat akan ulangan, itu pun menggunakan SKS (Sistem Kebut Semalam), mereka tidak mengerti dengan cara meningkatkan motivasi, cara berfikir positif, gaya belajar dan lain-lain.
Cara belajar adalah kunci untuk mengembangkan prestasi dalam pekerjaan, di sekolah,  maupun dalam keadaan antarpribadi. Rita Dumn, seorang perintis dibidang gaya belajar, telah menemukan banyak factor yang mempengaruhi cara belajar seseorang. Faktor-faktor tersebut mencakup faktor fisik, factor emosional, factor sosiologis, dan factor lingkungan. Misalnya sebagian orang dapat belajar dengan cahaya yang terang, sedangkan sebagian yang lain dengan pencahayaan yang redup. Ada orang yang belajar paling baik secara kelompok, sedangkan yang lain memilih belajar individu adalah cara yang terbaik dalam belajar. Sebagian  orang memerlukan music sebagai latar belakang,  namun ada juga yang tidak bisa berkonsentrasi jika lingkungan tidak sepi.
Di beberapa sekolah dasar dan lanjutan di Amerika, para guru meyakini benar bahwa setiap  oeang mempunyai cara yang optimal dalam mempelajari informasi baru. Mereka memahami bahwa setiap murid harus diajarkan cara-cara yang berbeda dari metode mengajar standar. Jika murid diajar dengan cara yang standar, berpeluang kecil mereka dapat mengerti apa yang dipelajarinya. Dengan mengerti gaya belajar yang berbeda para guru dapat mendekati semua murid dengan cara yang berbeda-beda.[8]

Apa yang terjadi di Amerika tersebut karena di sana telah ada pembagian kelas sesuai dengan tipebelajar siswa. Siswa dikelompokkan berdasarkan cara belajar mereka. Maka bila  anak itu  kelas 7, maka ada kelas 7 audio, kelas 7 visual, kelas 7  kinestetik dll.
Beda dengan Indonesia yang pembagian kelas berdasarkan prestasi akademik dan non kademik. Maka memaksakan guru untuk memberikan cara belajar yang disesuaikan dengan kecenderungan tipe belajar siswa tidak mungkin. Apalagi jumlah siswa melebihi  kapasitas kelas. Dalam kondisi pembelajaran semacam itu, guru hanya mungkin melakukan sesuai dengan dugaan guru tentang kecenderungan banyaknya sisiwa kelas tersebut pada satu tipe belajar.
Yang aneh, setiap pelatihan guru, banyak pemateri yang mengharapkan guru untuk melakukan pendekatan yang berbeda dalam  gaya mengajarnya dalam  rangka memenuhi  kebutuhan  individu siswa. Maka bila  hal  itu ingin dilakukan, maka lakukanlah pembagian kelas berdasarkan tipe belajar. Bila hal ini tidak mungkin, maka alternatifnya adalah guru konseling memberikan arahan kepada siswa berkaitan  dengan tipe belajar yang cocok  untuk setiap  siswa.
 Hal ini agar siswa mampu belajar secara individu disesuaikan dengan  kecenderungan tipe belajarnya. Dengan cara ini, walaupun siswa belum  mendapatkan layanan pembelajaran  yang sesuai dengan  tipe belajarnya, namun secara individu ia mampu melakukan belajar sesuai dengan tipe belajarnya  sehingga proses belajar yang siswa lakukan  lebih efektif dan menyenangkan.
Cara belajar seseorang merupakan  gabungan dari bagaimana ia menyerap,  mengatur dan mengolah informasi. Cara belajar adalah hal yang sangat penting yang harus dipahami setiap pelajar. Karena cara belajarlah yang mempengaruhi seseorang dalam proses belajar. Setiap sekolah diharuskan memberi pengetahuan tentang cara belajar. Jika tidak, para pelajar akan kesulitan dalam menuntut ilmu. Pendidikan pun tidak bisa mencapai tujuannya.

Nama   : Risa Harisatulmillah
Kelas   : PGMI 2B
NIM    : 1703096051
UIN WALISONGO SEMARANG
Tinggal  di  Buntet Pesantren  Cirebon



[1] Aliy As’ad, terjemah ta’limul muta’allim, Kudus: menara kudus , 2007. Hal 8
[2] Aliy As’ad, terjemah ta’limul muta’allim, Kudus: menara kudus , 2007. Hal 4
[3] Aliy As’ad, terjemah ta’limul muta’allim, Kudus: menara kudus , 2007. Hal 1
[4] Aliy As’ad, terjemah ta’limul muta’allim, Kudus: menara kudus , 2007. Hal 2
[5] Bobbi Deporter dan Mike Hernacki,Quantum Learning : unleashing The Gunius In You,terj. Alwiyah  Abbdurrahman  (Bandung:kaifa, 2016) hal 8
[6] Bobbi Deporter dan Mike Hernacki,Quantum Learning : unleashing The Gunius In You,terj. Alwiyah  Abbdurrahman  (Bandung:kaifa, 2016) hal X
[7] Agus Setiawan dan Juni Anton, Bacakilat For Students : The Smart Learning Startegy, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016)hal XX
[8] Bobbi Deporter dan Mike Hernacki,Quantum Learning : unleashing The Gunius In You,terj. Alwiyah  Abbdurrahman  (Bandung:kaifa, 2016) hal 110


MENGAJAK BERFIKIR SISWA DALAM BERAGAMA


MENGAJAK BERFIKIR SISWA DALAM BERAGAMA
Munib Rowandi Amsal Hadi
Guru Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti SMP Negeri 6 Kota Cirebon

Guru  Agama  Islam, belakang ini sering  dituduh menjadi salah satu penyebab munculnya kecenderungan sifat intolerans dan radikal yang ada pada siswa.  Tuduhan tersebut, satu sisi menunjukkan bahwa betapa berpengaruhnya guru Pendidikan Agama Islam sehingga dengan jumlah yang relative sedikit, mampu mmpengaruhi sebagian besar siswa di sekolah tersebut.   Namun di sisi lain, betapa nistanya guru PAI yang mengajarkan intolerans dan radikal yang sejatinya sama  sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam.
 Perlu diketahui, ruang kelas bukanlah ruang sepi. Ruang kelas penuh dinamika dan dialektika.  Siswa sebagai bagian dari masyarakat, sering kali mendialogkan hal-hal yang terjadi di sekitar lingkungannya di  dalam kelas. Dialog tersebut menunjukkan bahwa siswa ingin menfilter informasi yangdidapatnyan di luar sekolah.  Banyak hal  yang ingin didapatkan siswa dari dialog tersebut. Siswa mendialogkan berbagai hal biasanya karena ia masih ragu pada apa yang ia dapatkan, sehingga ia ingin penguat dari guru. Bisa juga karena hal itu baru ia dengar, ia ingin pendapat dari guru. Tapi bisa saja yang ia peroleh dari lingkungan sangat bertentangan dengan apa yang ia peroleh dari gurunya.
Untuk menjawab apa yang menjadi persoalan siswa tersebut, paling tidak seorang guru harus menjawabnya dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu jawaban harus bersifat  normative,  aplikatif dan tidak destruktif.  Yang dimaksud bersifat  normative adalah, guru dalam menjawab pertanyaan harus berdasarkan norma atau ketentuan-ketentuan atau materi ajar  yang sudah diajarkan,  karena, menurut dugaan saya, hal inilah  yang menguatkan guru sering mejadi rujukan bagi  para siswa. Guru,  dianggapoleh siswa   tidak memiliki kepentingan selain menyampaikan hal  yang baik dan benar  yang didasarkan pada keilmuan. Kekuatan ini pula, yang kadang membuat siswa lebih memilih mengikuti pendapat guru daripada pendapat orang tuanya. 
Bersifat aplikatif, maksudnya adalah guru dalam memberikan jawaban disesuaikan dengan kemempuan siswa dan dapat membantu menyelesaikan masalahnya (solutif) sehingga siswa mampu mengaplikasikan apa yang ia terima dari gurunya dalam  kehidupan sehari-hari. Dan bersifat tidak destruktif artinya jawaban tidak menimbulkan ekses negatif pada saat diaplikasikan. Dengan jawaban yang diterimanya, siswa menjadi bagian dari masyarakat yang menciptakan kedamaian. Bila saja tiga hal tersebut menjadi bagian yang dipertimbangkan dalam mengarahkan dan memberikan pelajaran pada siswa, saya kira guru bukanlah factor dari sekian banyak factor yang menyebabkan siswa memiliki sifat intolerans dan radikal. Justru guru menjadi filter dari situasi yang tidak baik yang berada di luar ruang kelas.  
Sebagai contoh misalnya,  pada saat muncul perdebatan tentang salat jum’at di Monas. Seorang siswa bertanya pada saya  apakah ada pendapat yang membolehkannya, karena  yang ia peroleh dari membaca  buku, juga dari keterangan yang diperoleh dari guru bahwa salat jum’at haruslah ditempat yang sudah biasanya.   Dengan prinsip tiga hal tersebut, maka saya sampaikan bahwa sampai saat ini belum pernah menemukan  jawaban selain yang sudah dijelaskan. Dan sebuah tindakan hanya boleh dilakukan bila telah diperoleh dasar yang kuat. Sebelum ditemukan dasar yang kuat, maka sebaiknya jangan dulu dilakukan. Dengan jawaban tersebut, saya berharap siswa tidak  melakukan hal-hal yang tidak  berdasar, tapi sekaligus menghormati  orang yang berbeda karena boleh jadi orang tersebut telah memiliki prinsipnya.
MengajAK bERFIKIR
Persoalaan di kelas, kadang sangat sepele. Namun karena tidak bisa menyelesaikan dengan baik, siswa menjadi bermasalah.  Suatu hari, saat belajar tentang iman kepada malaikat Allah, saya mengajak kepada siswa agar mampu meniru fungsi malaikat. Saya membagi siswa dalam sepuluh kelompok sesuai jumlah  malaikat yang harus diketahui.  Setiapsiswa harus mampu meniru prilaku malaikat sesuai bagiannya yang dituangkan dalam tulisan.   Tiba-tiba beberapa siswa terjadi cekcok yang menjurus pada adu fisik. Setelah dimintai penjelasan, ternyata persoalannya, siswa yang Kebagian no 9 atau malaikat Malik, tidak mau dan memaksa untuk menukar dengan temannya yang kebagian no 10 atau malaikat Ridwan. Ia menjelaskan tidak ada yang bisa ditiru dari sifat malaikat Malik. Ia penjaga neraka. Tidak ada orang yang senang padanya.  Sifatnya  kejam, selalu bermuka bengis, tidak senyum. Sementara malaikat Ridwan sangat disenangi orang karena menjaga pintu surga , selalu senyum dan tampak  sangat ceria dan ramah.
Mendengar jawabaan tersebut, saya memberikan apresiasi dan memujinya sekaligus menjelaskan bahwa setiap orang pasti tidak senang dengan kekerasan, kebengisan dan kekejaman. Namun sifat malaikat Malik  tersebut sebetulnya hanya menguatkan bahwa tugasnya adalah melarang orang masuk  ke neraka. Itu saja. Apabila pelarangan   itu akan kamu lakukan dengan cara malaikat Ridwan, tentu sangat baik. Melarang  oranag masuk neraka dengan ramah, sopan dan penuh ceria, tentu  sangat disenangi oleh orang. Dan kamupun berhasil menjadi orang yang berjasa karena mampu mencegah  orang masuk neraka.
 Begitupun sebaliknya, bagi yang kebagian no. 10 atau malaikat Ridwan yang mengajak orang masuk surge harus dengan ramah dan  sopan, sesuai sifat malaikat Ridwan. Tapi apabila  bila mengajak ke surge dengan cara malaikat Malik, atau dengan kekerasan, kejam dan keji, tentu tidak  akan disukai. Orang pasti akan sangat tidak  nyaman  dan yang dihawatirkan justru orang akan semakin menjauh dari surge karena membenci caranya yang kasar dan bengis. Mendapat penjelasan tersebut, ahirnya percekcokan dapat diatasi dan siswa belajar lembali dengan baik.
Memasuki bulan Desember di tahun ini, ruang kelas diramaikan  dengan diskusi tentang perayaan natal dan tahun baru. Bagi siswa yang telah terbiasa hidup dengan  siswa yang berbeda agama, tentu menjadi masalah ketika muncul berbagai pandangan yang melarang mereka  untuk mengucapkan selamat hari natal dan juga larangan merayakan tahun baru. Persoalan itu mereka kemukakan di kelas. Tentu untuk menjawabnya, sangatlah hati-hati. Kehati-hatian tersebut  dimaksudkan agar jawaban yang diberikan tetap memiliki kekuatan hokum (normatif), aplikatif dan tidak destruktif, juga tidak menyinggung perasaan  bagi siswa yang beragama Nasrani  maupun yang beragama Islam. Dalam pelajaran agama  Islam, walaupun yang beragama  Non Islam dipersilahkan untuk tidak mengikuti,  namun nyatanya banyak juga yang tetap dikelas.
Untuk menjawab persoalan diatas, saya sampaikan,  hampir semua agama telah menyepakati tata cara toleransi dalam beragama adalah dengan tidak  ikut campur dalam keyakinan mereka, termasuk tidak mengikuti ibadah atau ritual agama orang lain.  Bahasa ini lebih mudah difahami siswa dan tidak bersifat destruktif dari pada pernyataan yang sering tertulis diberbagai sumber belajar yang menyatakan bahwa dalam hal beragama tidak ada toleransi. Pernyataan tersebut  biasanya didasarkan pada pernyataan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. Alkafirun:6). Padahal  apa yang dimaksud ayat tadi, bisa saja disampaikan dengan menyatakan bahwa cara toleransi beragama menurut ajaran Islam adalah untuk tidak salaing mencampuri dalam  urusan agama.
Lalu bagaimana dengan larangan mengucapkan  selamat natal? Dengan tetap menghormati  pendapat yang telah berkembang selama ini, saya menyelesaikan  persoalan ini dengan mengajak siswa berfikir.  Saya sampaikan, biasanya, ucapan selamat itu diucapkan untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain? Misalnya,  kita mengucapkan selamat ulang tahun pada tema kita, berarti yang ulang tahun kita atau  teman  kita? Tentu teman  kita. Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan selamat itu pastilah orang lain. Bukan  pelaku. Wong edan  kalau ada orangmengucapkan selamat pada diri sendiri.  Maka  mengucapkan selamat pada teman yang beragama Nasrani menguatkan bahwa kita adalah Muslim. Selain sebagai orang Muslim, kita juga menunjukkan bahwa kita mengakui bahwa  Negara Indonesia ini mengesahkan beberapa agama resmi, salah satunya adalah agama nasrani, tanpa ikut campur pada keyakinan mereka. Ucapan selamat hanya untuk mempererat hubungan pertemanan.
Kalender Sebagai Produk budaya
Lalu, apakah boleh merayakan Tahun Baru? Mengapa tidak? Sejak ratusan tahun Indonesia sudah menggunakan kalender masehi. Ada banyak kalender yang dikenal di Indonesia, selainkalender masehi, juga dikela kalender hijriah, kalender jawa dan  kalender china. Orang-orang dulu, secara kreatif telah memadukan kalender masehi dengan kalender hijriyah, maka muncullah nama bulan dengan menggunakan nama januari, februari dan seterusnya yang diambil dari kalender masehi, namun untuk hari diambil deri kalender hijriyah sehingga muncullah hari Ahad, Senin, Selasa, rabu, Kamis, jum’at dan Sabtu. Selain itu, kalender juga dipadu dengan tahun jawa sehingga muncullah istilah legi, pon, kliwon, pahing dan wage. Maka saya kira kalender yang ada di Indonesia telah melalui proses perpaduan yang bukan lagi murni kalender masehi.
Orang-orang tua dulu, tidak pernah mempermasalahkan  kalender tahun masehi   karena melihat kalender  sebagai produk budaya  yang berfungsi untuk menandai tahun, bulan dan hari. Hampir sama dengan dokter yang menyelamatkan seorang ibu hamil dengan menggunakan cara  opersi cessar, atau kita mengetik mempergunakan laptop. Semua adalah produk budaya manusia yang dapat kita manfaatkan untuk membantu manusia. Maka terlepas dari sejarah terbentuknya kalender masehi, atau siapa yang menemukan operasi cessar dan laptop, produk-produk budaya tersebut tidaklah beragama. Produk tersebut hanyalah sebuah alat atau sistem yang tidak akan mempenagruhi kepercayaan atau agama seseorang. Maka, tidak  serta merta orang yang menggunakan  kalender hijriyah lalu masuk Islam. Begitupun orang yang menggunakan kalender masehi, tidaklah serta merta masuk  Kristen.
Ketika  ahir tahun dan menghadapi awal tahun, wajar saja bila kita merasa senangsebagai  ungkapan syukur kepada Allah  karena telah melewati tahun kemarin dengan baik dan berharap serta memohon kepada Allah agar tahun depan dapat diisi dengan baik pula. Bagaikan siswa yang baru menerima  raport dan dinyatakan naik, tentu bolehlah merasa senang.  Tapi tentu, perayaan harus dilakukan dengan cara-cara yang positif. Selamat tahun baru. Semoga kita semua sukses. Amiin.