Jumat, 28 Desember 2018

MENGAJAK BERFIKIR SISWA DALAM BERAGAMA


MENGAJAK BERFIKIR SISWA DALAM BERAGAMA
Munib Rowandi Amsal Hadi
Guru Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti SMP Negeri 6 Kota Cirebon

Guru  Agama  Islam, belakang ini sering  dituduh menjadi salah satu penyebab munculnya kecenderungan sifat intolerans dan radikal yang ada pada siswa.  Tuduhan tersebut, satu sisi menunjukkan bahwa betapa berpengaruhnya guru Pendidikan Agama Islam sehingga dengan jumlah yang relative sedikit, mampu mmpengaruhi sebagian besar siswa di sekolah tersebut.   Namun di sisi lain, betapa nistanya guru PAI yang mengajarkan intolerans dan radikal yang sejatinya sama  sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam.
 Perlu diketahui, ruang kelas bukanlah ruang sepi. Ruang kelas penuh dinamika dan dialektika.  Siswa sebagai bagian dari masyarakat, sering kali mendialogkan hal-hal yang terjadi di sekitar lingkungannya di  dalam kelas. Dialog tersebut menunjukkan bahwa siswa ingin menfilter informasi yangdidapatnyan di luar sekolah.  Banyak hal  yang ingin didapatkan siswa dari dialog tersebut. Siswa mendialogkan berbagai hal biasanya karena ia masih ragu pada apa yang ia dapatkan, sehingga ia ingin penguat dari guru. Bisa juga karena hal itu baru ia dengar, ia ingin pendapat dari guru. Tapi bisa saja yang ia peroleh dari lingkungan sangat bertentangan dengan apa yang ia peroleh dari gurunya.
Untuk menjawab apa yang menjadi persoalan siswa tersebut, paling tidak seorang guru harus menjawabnya dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu jawaban harus bersifat  normative,  aplikatif dan tidak destruktif.  Yang dimaksud bersifat  normative adalah, guru dalam menjawab pertanyaan harus berdasarkan norma atau ketentuan-ketentuan atau materi ajar  yang sudah diajarkan,  karena, menurut dugaan saya, hal inilah  yang menguatkan guru sering mejadi rujukan bagi  para siswa. Guru,  dianggapoleh siswa   tidak memiliki kepentingan selain menyampaikan hal  yang baik dan benar  yang didasarkan pada keilmuan. Kekuatan ini pula, yang kadang membuat siswa lebih memilih mengikuti pendapat guru daripada pendapat orang tuanya. 
Bersifat aplikatif, maksudnya adalah guru dalam memberikan jawaban disesuaikan dengan kemempuan siswa dan dapat membantu menyelesaikan masalahnya (solutif) sehingga siswa mampu mengaplikasikan apa yang ia terima dari gurunya dalam  kehidupan sehari-hari. Dan bersifat tidak destruktif artinya jawaban tidak menimbulkan ekses negatif pada saat diaplikasikan. Dengan jawaban yang diterimanya, siswa menjadi bagian dari masyarakat yang menciptakan kedamaian. Bila saja tiga hal tersebut menjadi bagian yang dipertimbangkan dalam mengarahkan dan memberikan pelajaran pada siswa, saya kira guru bukanlah factor dari sekian banyak factor yang menyebabkan siswa memiliki sifat intolerans dan radikal. Justru guru menjadi filter dari situasi yang tidak baik yang berada di luar ruang kelas.  
Sebagai contoh misalnya,  pada saat muncul perdebatan tentang salat jum’at di Monas. Seorang siswa bertanya pada saya  apakah ada pendapat yang membolehkannya, karena  yang ia peroleh dari membaca  buku, juga dari keterangan yang diperoleh dari guru bahwa salat jum’at haruslah ditempat yang sudah biasanya.   Dengan prinsip tiga hal tersebut, maka saya sampaikan bahwa sampai saat ini belum pernah menemukan  jawaban selain yang sudah dijelaskan. Dan sebuah tindakan hanya boleh dilakukan bila telah diperoleh dasar yang kuat. Sebelum ditemukan dasar yang kuat, maka sebaiknya jangan dulu dilakukan. Dengan jawaban tersebut, saya berharap siswa tidak  melakukan hal-hal yang tidak  berdasar, tapi sekaligus menghormati  orang yang berbeda karena boleh jadi orang tersebut telah memiliki prinsipnya.
MengajAK bERFIKIR
Persoalaan di kelas, kadang sangat sepele. Namun karena tidak bisa menyelesaikan dengan baik, siswa menjadi bermasalah.  Suatu hari, saat belajar tentang iman kepada malaikat Allah, saya mengajak kepada siswa agar mampu meniru fungsi malaikat. Saya membagi siswa dalam sepuluh kelompok sesuai jumlah  malaikat yang harus diketahui.  Setiapsiswa harus mampu meniru prilaku malaikat sesuai bagiannya yang dituangkan dalam tulisan.   Tiba-tiba beberapa siswa terjadi cekcok yang menjurus pada adu fisik. Setelah dimintai penjelasan, ternyata persoalannya, siswa yang Kebagian no 9 atau malaikat Malik, tidak mau dan memaksa untuk menukar dengan temannya yang kebagian no 10 atau malaikat Ridwan. Ia menjelaskan tidak ada yang bisa ditiru dari sifat malaikat Malik. Ia penjaga neraka. Tidak ada orang yang senang padanya.  Sifatnya  kejam, selalu bermuka bengis, tidak senyum. Sementara malaikat Ridwan sangat disenangi orang karena menjaga pintu surga , selalu senyum dan tampak  sangat ceria dan ramah.
Mendengar jawabaan tersebut, saya memberikan apresiasi dan memujinya sekaligus menjelaskan bahwa setiap orang pasti tidak senang dengan kekerasan, kebengisan dan kekejaman. Namun sifat malaikat Malik  tersebut sebetulnya hanya menguatkan bahwa tugasnya adalah melarang orang masuk  ke neraka. Itu saja. Apabila pelarangan   itu akan kamu lakukan dengan cara malaikat Ridwan, tentu sangat baik. Melarang  oranag masuk neraka dengan ramah, sopan dan penuh ceria, tentu  sangat disenangi oleh orang. Dan kamupun berhasil menjadi orang yang berjasa karena mampu mencegah  orang masuk neraka.
 Begitupun sebaliknya, bagi yang kebagian no. 10 atau malaikat Ridwan yang mengajak orang masuk surge harus dengan ramah dan  sopan, sesuai sifat malaikat Ridwan. Tapi apabila  bila mengajak ke surge dengan cara malaikat Malik, atau dengan kekerasan, kejam dan keji, tentu tidak  akan disukai. Orang pasti akan sangat tidak  nyaman  dan yang dihawatirkan justru orang akan semakin menjauh dari surge karena membenci caranya yang kasar dan bengis. Mendapat penjelasan tersebut, ahirnya percekcokan dapat diatasi dan siswa belajar lembali dengan baik.
Memasuki bulan Desember di tahun ini, ruang kelas diramaikan  dengan diskusi tentang perayaan natal dan tahun baru. Bagi siswa yang telah terbiasa hidup dengan  siswa yang berbeda agama, tentu menjadi masalah ketika muncul berbagai pandangan yang melarang mereka  untuk mengucapkan selamat hari natal dan juga larangan merayakan tahun baru. Persoalan itu mereka kemukakan di kelas. Tentu untuk menjawabnya, sangatlah hati-hati. Kehati-hatian tersebut  dimaksudkan agar jawaban yang diberikan tetap memiliki kekuatan hokum (normatif), aplikatif dan tidak destruktif, juga tidak menyinggung perasaan  bagi siswa yang beragama Nasrani  maupun yang beragama Islam. Dalam pelajaran agama  Islam, walaupun yang beragama  Non Islam dipersilahkan untuk tidak mengikuti,  namun nyatanya banyak juga yang tetap dikelas.
Untuk menjawab persoalan diatas, saya sampaikan,  hampir semua agama telah menyepakati tata cara toleransi dalam beragama adalah dengan tidak  ikut campur dalam keyakinan mereka, termasuk tidak mengikuti ibadah atau ritual agama orang lain.  Bahasa ini lebih mudah difahami siswa dan tidak bersifat destruktif dari pada pernyataan yang sering tertulis diberbagai sumber belajar yang menyatakan bahwa dalam hal beragama tidak ada toleransi. Pernyataan tersebut  biasanya didasarkan pada pernyataan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. Alkafirun:6). Padahal  apa yang dimaksud ayat tadi, bisa saja disampaikan dengan menyatakan bahwa cara toleransi beragama menurut ajaran Islam adalah untuk tidak salaing mencampuri dalam  urusan agama.
Lalu bagaimana dengan larangan mengucapkan  selamat natal? Dengan tetap menghormati  pendapat yang telah berkembang selama ini, saya menyelesaikan  persoalan ini dengan mengajak siswa berfikir.  Saya sampaikan, biasanya, ucapan selamat itu diucapkan untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain? Misalnya,  kita mengucapkan selamat ulang tahun pada tema kita, berarti yang ulang tahun kita atau  teman  kita? Tentu teman  kita. Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan selamat itu pastilah orang lain. Bukan  pelaku. Wong edan  kalau ada orangmengucapkan selamat pada diri sendiri.  Maka  mengucapkan selamat pada teman yang beragama Nasrani menguatkan bahwa kita adalah Muslim. Selain sebagai orang Muslim, kita juga menunjukkan bahwa kita mengakui bahwa  Negara Indonesia ini mengesahkan beberapa agama resmi, salah satunya adalah agama nasrani, tanpa ikut campur pada keyakinan mereka. Ucapan selamat hanya untuk mempererat hubungan pertemanan.
Kalender Sebagai Produk budaya
Lalu, apakah boleh merayakan Tahun Baru? Mengapa tidak? Sejak ratusan tahun Indonesia sudah menggunakan kalender masehi. Ada banyak kalender yang dikenal di Indonesia, selainkalender masehi, juga dikela kalender hijriah, kalender jawa dan  kalender china. Orang-orang dulu, secara kreatif telah memadukan kalender masehi dengan kalender hijriyah, maka muncullah nama bulan dengan menggunakan nama januari, februari dan seterusnya yang diambil dari kalender masehi, namun untuk hari diambil deri kalender hijriyah sehingga muncullah hari Ahad, Senin, Selasa, rabu, Kamis, jum’at dan Sabtu. Selain itu, kalender juga dipadu dengan tahun jawa sehingga muncullah istilah legi, pon, kliwon, pahing dan wage. Maka saya kira kalender yang ada di Indonesia telah melalui proses perpaduan yang bukan lagi murni kalender masehi.
Orang-orang tua dulu, tidak pernah mempermasalahkan  kalender tahun masehi   karena melihat kalender  sebagai produk budaya  yang berfungsi untuk menandai tahun, bulan dan hari. Hampir sama dengan dokter yang menyelamatkan seorang ibu hamil dengan menggunakan cara  opersi cessar, atau kita mengetik mempergunakan laptop. Semua adalah produk budaya manusia yang dapat kita manfaatkan untuk membantu manusia. Maka terlepas dari sejarah terbentuknya kalender masehi, atau siapa yang menemukan operasi cessar dan laptop, produk-produk budaya tersebut tidaklah beragama. Produk tersebut hanyalah sebuah alat atau sistem yang tidak akan mempenagruhi kepercayaan atau agama seseorang. Maka, tidak  serta merta orang yang menggunakan  kalender hijriyah lalu masuk Islam. Begitupun orang yang menggunakan kalender masehi, tidaklah serta merta masuk  Kristen.
Ketika  ahir tahun dan menghadapi awal tahun, wajar saja bila kita merasa senangsebagai  ungkapan syukur kepada Allah  karena telah melewati tahun kemarin dengan baik dan berharap serta memohon kepada Allah agar tahun depan dapat diisi dengan baik pula. Bagaikan siswa yang baru menerima  raport dan dinyatakan naik, tentu bolehlah merasa senang.  Tapi tentu, perayaan harus dilakukan dengan cara-cara yang positif. Selamat tahun baru. Semoga kita semua sukses. Amiin.





 













Tidak ada komentar:

Posting Komentar