MENGAJAK BERFIKIR SISWA DALAM
BERAGAMA
Munib Rowandi Amsal Hadi
Guru Pendidikan Agama Islam Dan
Budi Pekerti SMP Negeri 6 Kota Cirebon
Guru Agama
Islam, belakang ini sering
dituduh menjadi salah satu penyebab munculnya kecenderungan sifat
intolerans dan radikal yang ada pada siswa.
Tuduhan tersebut, satu sisi menunjukkan bahwa betapa berpengaruhnya guru
Pendidikan Agama Islam sehingga dengan jumlah yang relative sedikit, mampu
mmpengaruhi sebagian besar siswa di sekolah tersebut. Namun di sisi lain, betapa nistanya guru PAI
yang mengajarkan intolerans dan radikal yang sejatinya sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam.
Perlu diketahui, ruang kelas bukanlah ruang
sepi. Ruang kelas penuh dinamika dan dialektika. Siswa sebagai bagian dari masyarakat, sering
kali mendialogkan hal-hal yang terjadi di sekitar lingkungannya di dalam kelas. Dialog tersebut menunjukkan
bahwa siswa ingin menfilter informasi yangdidapatnyan di luar sekolah. Banyak hal
yang ingin didapatkan siswa dari dialog tersebut. Siswa mendialogkan
berbagai hal biasanya karena ia masih ragu pada apa yang ia dapatkan, sehingga
ia ingin penguat dari guru. Bisa juga karena hal itu baru ia dengar, ia ingin
pendapat dari guru. Tapi bisa saja yang ia peroleh dari lingkungan sangat
bertentangan dengan apa yang ia peroleh dari gurunya.
Untuk menjawab apa
yang menjadi persoalan siswa tersebut, paling tidak seorang guru harus
menjawabnya dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu jawaban harus bersifat normative,
aplikatif dan tidak destruktif.
Yang dimaksud bersifat normative
adalah, guru dalam menjawab pertanyaan harus berdasarkan norma atau
ketentuan-ketentuan atau materi ajar yang sudah diajarkan, karena, menurut dugaan saya, hal inilah yang menguatkan guru sering mejadi rujukan
bagi para siswa. Guru, dianggapoleh siswa tidak memiliki kepentingan selain
menyampaikan hal yang baik dan
benar yang didasarkan pada keilmuan. Kekuatan
ini pula, yang kadang membuat siswa lebih memilih mengikuti pendapat guru daripada
pendapat orang tuanya.
Bersifat aplikatif,
maksudnya adalah guru dalam memberikan jawaban disesuaikan dengan kemempuan
siswa dan dapat membantu menyelesaikan masalahnya (solutif) sehingga siswa
mampu mengaplikasikan apa yang ia terima dari gurunya dalam kehidupan sehari-hari. Dan bersifat tidak
destruktif artinya jawaban tidak menimbulkan ekses negatif pada saat
diaplikasikan. Dengan jawaban yang diterimanya, siswa menjadi bagian dari
masyarakat yang menciptakan kedamaian. Bila saja tiga hal tersebut menjadi
bagian yang dipertimbangkan dalam mengarahkan dan memberikan pelajaran pada
siswa, saya kira guru bukanlah factor dari sekian banyak factor yang
menyebabkan siswa memiliki sifat intolerans dan radikal. Justru guru menjadi
filter dari situasi yang tidak baik yang berada di luar ruang kelas.
Sebagai contoh misalnya,
pada saat muncul perdebatan tentang
salat jum’at di Monas. Seorang siswa bertanya pada saya apakah ada pendapat yang membolehkannya,
karena yang ia peroleh dari membaca buku, juga dari keterangan yang diperoleh dari
guru bahwa salat jum’at haruslah ditempat yang sudah biasanya. Dengan prinsip tiga hal tersebut, maka saya
sampaikan bahwa sampai saat ini belum pernah menemukan jawaban selain yang sudah dijelaskan. Dan
sebuah tindakan hanya boleh dilakukan bila telah diperoleh dasar yang kuat.
Sebelum ditemukan dasar yang kuat, maka sebaiknya jangan dulu dilakukan. Dengan
jawaban tersebut, saya berharap siswa tidak
melakukan hal-hal yang tidak
berdasar, tapi sekaligus menghormati
orang yang berbeda karena boleh jadi orang tersebut telah memiliki
prinsipnya.
MengajAK bERFIKIR
Persoalaan di kelas,
kadang sangat sepele. Namun karena tidak bisa menyelesaikan dengan baik, siswa
menjadi bermasalah. Suatu hari, saat
belajar tentang iman kepada malaikat Allah, saya mengajak kepada siswa agar
mampu meniru fungsi malaikat. Saya membagi siswa dalam sepuluh kelompok sesuai
jumlah malaikat yang harus diketahui. Setiapsiswa harus mampu meniru prilaku
malaikat sesuai bagiannya yang dituangkan dalam tulisan. Tiba-tiba beberapa siswa terjadi cekcok yang
menjurus pada adu fisik. Setelah dimintai penjelasan, ternyata persoalannya,
siswa yang Kebagian no 9 atau malaikat Malik, tidak mau dan memaksa untuk
menukar dengan temannya yang kebagian no 10 atau malaikat Ridwan. Ia
menjelaskan tidak ada yang bisa ditiru dari sifat malaikat Malik. Ia penjaga
neraka. Tidak ada orang yang senang padanya. Sifatnya
kejam, selalu bermuka bengis, tidak senyum. Sementara malaikat Ridwan
sangat disenangi orang karena menjaga pintu surga , selalu senyum dan
tampak sangat ceria dan ramah.
Mendengar jawabaan
tersebut, saya memberikan apresiasi dan memujinya sekaligus menjelaskan bahwa
setiap orang pasti tidak senang dengan kekerasan, kebengisan dan kekejaman. Namun
sifat malaikat Malik tersebut sebetulnya
hanya menguatkan bahwa tugasnya adalah melarang orang masuk ke neraka. Itu saja. Apabila pelarangan itu akan kamu lakukan dengan cara malaikat
Ridwan, tentu sangat baik. Melarang oranag masuk neraka dengan ramah, sopan dan
penuh ceria, tentu sangat disenangi oleh
orang. Dan kamupun berhasil menjadi orang yang berjasa karena mampu
mencegah orang masuk neraka.
Begitupun sebaliknya, bagi yang kebagian no.
10 atau malaikat Ridwan yang mengajak orang masuk surge harus dengan ramah
dan sopan, sesuai sifat malaikat Ridwan.
Tapi apabila bila mengajak ke surge
dengan cara malaikat Malik, atau dengan kekerasan, kejam dan keji, tentu
tidak akan disukai. Orang pasti akan
sangat tidak nyaman dan yang dihawatirkan justru orang akan
semakin menjauh dari surge karena membenci caranya yang kasar dan bengis.
Mendapat penjelasan tersebut, ahirnya percekcokan dapat diatasi dan siswa belajar
lembali dengan baik.
Memasuki bulan
Desember di tahun ini, ruang kelas diramaikan
dengan diskusi tentang perayaan natal dan tahun baru. Bagi siswa yang
telah terbiasa hidup dengan siswa yang
berbeda agama, tentu menjadi masalah ketika muncul berbagai pandangan yang
melarang mereka untuk mengucapkan
selamat hari natal dan juga larangan merayakan tahun baru. Persoalan itu mereka
kemukakan di kelas. Tentu untuk menjawabnya, sangatlah hati-hati. Kehati-hatian
tersebut dimaksudkan agar jawaban yang
diberikan tetap memiliki kekuatan hokum (normatif), aplikatif dan tidak
destruktif, juga tidak menyinggung perasaan
bagi siswa yang beragama Nasrani maupun yang beragama Islam. Dalam pelajaran agama Islam, walaupun yang beragama Non Islam dipersilahkan untuk tidak mengikuti, namun nyatanya banyak juga yang tetap
dikelas.
Untuk menjawab
persoalan diatas, saya sampaikan, hampir
semua agama telah menyepakati tata cara toleransi dalam beragama adalah dengan
tidak ikut campur dalam keyakinan
mereka, termasuk tidak mengikuti ibadah atau ritual agama orang lain. Bahasa ini lebih mudah difahami siswa dan
tidak bersifat destruktif dari pada pernyataan yang sering tertulis diberbagai
sumber belajar yang menyatakan bahwa dalam hal beragama tidak ada toleransi.
Pernyataan tersebut biasanya didasarkan
pada pernyataan: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. Alkafirun:6). Padahal apa yang dimaksud ayat tadi, bisa saja
disampaikan dengan menyatakan bahwa cara toleransi beragama menurut ajaran
Islam adalah untuk tidak salaing mencampuri dalam urusan agama.
Lalu bagaimana
dengan larangan mengucapkan selamat
natal? Dengan tetap menghormati pendapat
yang telah berkembang selama ini, saya menyelesaikan persoalan ini dengan mengajak siswa berfikir.
Saya sampaikan, biasanya, ucapan selamat
itu diucapkan untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain? Misalnya, kita mengucapkan selamat ulang tahun pada
tema kita, berarti yang ulang tahun kita atau
teman kita? Tentu teman kita. Ini menunjukkan bahwa orang yang
mengucapkan selamat itu pastilah orang lain. Bukan pelaku. Wong edan kalau ada orangmengucapkan selamat pada diri
sendiri. Maka mengucapkan selamat pada teman yang beragama
Nasrani menguatkan bahwa kita adalah Muslim. Selain sebagai orang Muslim, kita
juga menunjukkan bahwa kita mengakui bahwa
Negara Indonesia ini mengesahkan beberapa agama resmi, salah satunya
adalah agama nasrani, tanpa ikut campur pada keyakinan mereka. Ucapan selamat
hanya untuk mempererat hubungan pertemanan.
Kalender Sebagai
Produk budaya
Lalu, apakah boleh
merayakan Tahun Baru? Mengapa tidak? Sejak ratusan tahun Indonesia sudah
menggunakan kalender masehi. Ada banyak kalender yang dikenal di Indonesia,
selainkalender masehi, juga dikela kalender hijriah, kalender jawa dan kalender china. Orang-orang dulu, secara
kreatif telah memadukan kalender masehi dengan kalender hijriyah, maka
muncullah nama bulan dengan menggunakan nama januari, februari dan seterusnya
yang diambil dari kalender masehi, namun untuk hari diambil deri kalender
hijriyah sehingga muncullah hari Ahad, Senin, Selasa, rabu, Kamis, jum’at dan
Sabtu. Selain itu, kalender juga dipadu dengan tahun jawa sehingga muncullah
istilah legi, pon, kliwon, pahing dan wage. Maka saya kira kalender yang ada di
Indonesia telah melalui proses perpaduan yang bukan lagi murni kalender masehi.
Orang-orang tua
dulu, tidak pernah mempermasalahkan
kalender tahun masehi karena
melihat kalender sebagai produk
budaya yang berfungsi untuk menandai
tahun, bulan dan hari. Hampir sama dengan dokter yang menyelamatkan seorang ibu
hamil dengan menggunakan cara opersi
cessar, atau kita mengetik mempergunakan laptop. Semua adalah produk budaya
manusia yang dapat kita manfaatkan untuk membantu manusia. Maka terlepas dari
sejarah terbentuknya kalender masehi, atau siapa yang menemukan operasi cessar
dan laptop, produk-produk budaya tersebut tidaklah beragama. Produk tersebut
hanyalah sebuah alat atau sistem yang tidak akan mempenagruhi kepercayaan atau
agama seseorang. Maka, tidak serta merta
orang yang menggunakan kalender hijriyah
lalu masuk Islam. Begitupun orang yang menggunakan kalender masehi, tidaklah
serta merta masuk Kristen.
Ketika ahir tahun dan menghadapi awal tahun, wajar
saja bila kita merasa senangsebagai
ungkapan syukur kepada Allah karena telah melewati tahun kemarin dengan
baik dan berharap serta memohon kepada Allah agar tahun depan dapat diisi
dengan baik pula. Bagaikan siswa yang baru menerima raport dan dinyatakan naik, tentu bolehlah
merasa senang. Tapi tentu, perayaan harus
dilakukan dengan cara-cara yang positif. Selamat tahun baru. Semoga kita semua
sukses. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar