Rabu, 19 Oktober 2011

ZAKAT PENDIDIKAN



System pendidikan Indonesia tidak mengenal pengkelasan (pembedaan) siswa, misalnya kelas orang desa dan kelas orang kota, atau kelas orang miskin dan kelas orang kaya. Semua orang diperlakukan sama dalam mendapatkan kesempatan dan hak memperoleh pendidikan.karenanya  pendidikan (sekolah) merupakan sarana terbuka (media demokratis) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperjuangkan nasib dirinya. Namun dalam perkembangannya, status dunia pendidikan menjadi tampak berubah, seakan merupakan media tertutup yang hanya dapat dimiliki oleh mereka-mereka yang kaya. Orang miskin dengan berbagai macam kekurangannya, tetap menjadi miskin setelah ia berjuang mati-matian memasuki wilayah pendidikan. Bagaikan seleksi  alam, siswa miskin banyak yang terpental karena system atau masuk dalam lingkaran system yang tidak mampu merubah dirinya dari kemiskinan.
Siswa miskin sejak dari pemilihan sekolah dasar, selalu terpinggirkan dan mendapat sekolah dasar yang tidak representatif. Ketika masa penerimaan murid baru dilakukan, banyak sekolah dasar (SD) melakukan tes baca tulis (walaupun tidak dibenarkan), terutama sekolah dasar yang berada di kota. Hal ini membuat siswa miskin tidak mampu mengakses sekolah-sekolah tersebut karena mereka tidak melalui sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Sementara bagi orang kaya, banyak yang terserap pada sekolah sekolah dasar bonafid karena anak-anak mereka telah ditempa lebih dulu di TK. Dan ini pulalah yang menyebabkan masih banyak TK yang terpaksa  mengajarkan baca tulis karena masih banyak SD yang bonafid melakukan penerimaan siswanya melalui tes tulis dan baca. Sementara pihak SD pun melakukan tes biasa dengan alasan karena banyaknya peminat sehingga perlu dilakukan seleksi secara benar, adil dan transparan.
Karena dari SD yang kurang bonafid dan  dengan sarana yang kurang representatif, siswa miskin tidak mampu menampilkan kemampuannya secara maksimal, selain prilaku-prilaku khusus (non kooperatif) seperti bolos, malas dan senang hura-hura, juga karena  sarana penunjang belajar di rumah yang sangat kurang, selain itu ada juga yang waktunya dipergunakan untuk membantu orang tua (membantu mencari uang) membuat siswa miskin mengalami kendala pada saat masuk ke jenjang yang lebih atasnya. Beda dengan orang kaya yang mempunyai sarana belajar yang mencukupi, lalu ditampung di sekolah yang bonafid ditambah lagi mereka mempunyai kemapuan untuk les di luar jam belajar, maka ketika tes masuk sekolah tentulah masuk pada sekolah-sekolah bonafid ( terutama sekolah negeri).
Beda dengan siswa miskin. Karena kemampuannya yang tidak maksimal mereka akan terpinggirkan pada sekolah sekolah swasta karena tesnya banyak yang gagal. Di swastapun, karena kemapuan ekonomi yang tidak mencukupi, mereka masuk pada sekolah swasta yang murah dan murahan. Kalaupun masuk sekolah negeri, maka biasanya mereka terkonsentrasi pada sekolah negeri pinggiran yang mempunyai sarana yang sangat kurang. Tapi itupun masih untung bila mereka sempat belajar, masih banyak yang lalu berfikir pendek untuk tidak masuk sekolah.
Bila kondisi ini dibiarkan, maka apalah artinya sekolah bagi orang miskin bila lalu tidak membuat siswa miskin mamapu menggali potensi dirinya dalam rangka memutus mata rantai kemiskinan yang mereka rasakan. Justru sekolah semakin membebani orang miskin yang hasilnya pun tidaklah jelas. Secara statistik boleh jadi siswa miskin itu telah menjadi lulusan suatu sekolah, namun dalam kenyataannya banyak siswa miskin yang lalu menjadi pengangguran terselubung. Mereka tidak mempunyai ketahanan hodup yang mupuni karena proses yang telah dilaluinya tidaklah mencukupi. Yang ada justru sekedar memenuhi kewajiban dan atau  kebiasaan masyarakat. Sekolah mereka  bagaikan rutinitas budaya
Kondisi nyata inilah yang lalu menggugah sebagian orang yang peduli pada pendidikan untuk membuat sekolah gratis. Sebuah sekolah yang dibuat sedemikian rupa sehingga gratis. Tapi sekolah yang demikian masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Sementara program pemerintah seperti BOS, Bagus dan Sekolah Bebas Biaya Bulanan (SB3) memang sedikit banyak telah membantu siswa miskin untuk melanjutkan sekolah. Namun dengan system tes reguler yang dilakukan selama ini, membuat kondisi siswa miskin masih terpinggirkan pada sekolah-sekolah pinggiran, bahkan yang terpaksa masuk sekolah swasta, mereka tidak tersentuh dengan program SB3.

Kalau boleh memilih, idealnya siswa miskin masuk pada sekolah yang bonafid. Mengapa? Kondisi mereka dalam situasi yang kurang menguntungkan. Perangkat belajar, seperti buku pegangan, buku penunjang  jarang dimiliki oleh mereka. Kondisi ini membuat mereka susah belajar maksimal di rumah, selain itu waktu mereka juga kadang tersita oleh kegiatan membantu orang tua. Semantara kemampuan awalnya banyak yang kurang karena proses belajar yang tidak ideal. Maka bila mereka lalu dididik pada sekolah yang kurang representativ, mereka tidak akan mendapatkan kemampuan yang memadai.
Beda bila mereka didik di sekolah yang bonafid. Pertama, sarana dan sarana sekolah tersebut relatif lebih memadai. Karena biasanya sekolah bonafid mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Diaharapkan dengan sarana yang lebih baik, mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang mencukupi termasuk buku pegangan. Kedua, kesejahteraan gurunya lebih baik sehingga tanggungjawab dan motivasi guru untuk mengajar lebih baik. Ketiga, sekolah bonafid lebih cenderung dipimpin oleh kepala sekolah pilihan dan sudah berpengalaman. Hal ini akan memungkinkan siswa miskin lebih kondusif belajar.
Rendah Kemampuan
Tapi siapa sih yang mau menerima siswa miskin. Pernah ada kejadian di Kota Cirebon sebuah sekolah menolak siswa yang mendapat program Bagus. Mengapa? Karena mereka siswa miskin. Berbagai persoalan yang sering terjadi pada proses mendidik siswa miskin adalah pertama, kemampuan inelektual yang kurang baik karena tidak diproses dengan baik. Kedua, kemiskinan yang menimpanya sehingga asupan gizi sangat kurang sehingga anak kurang/susah konsentrasi. Mereka lebih sering ribut di kelas.
 Ketiga, kehidupan siswa miskin relatif banyak dari daerah-daerah yang keras dan relatif lebih bebas. Hal ini mengakibatkan siswa miskin sangat susah diatur dan diarahkan, terutama laki-laki. Keempat, kepedulian orang tua sangat kurang, bahkan banyak kasus kunjungan sekolah ke rumah siswa miskin, justru yang sangat ingin agar anak sekolah adalah pihak sekolah. Anak dan orang tua kadang setali tiga uang. Keempat, masih banyak konsep mendidik yang dipegang oleh para guru bahwa nurut, pendiam dan tidak neko-neko itu lebih diminati ketimbang siswa yang berprilaku sebaliknya.
Maka tampaknya masuk akal bila ada sekolah di Kota Cirebon yang menolak siswa program Bagus karena anak tersebut dari keluarga miskin. Namun bila ternyata siswa miskin hanya dilimpahkan atau dikumpulkan dalam beberapa sekolah pinggiran saja, tentu tidak adil dan tidak kondusif. Sekolah pinggiran kesejahteraannya konon lebih rendah dibanding sekolah bonafid, selain itu sarana yang tidak sama lengkapnya dengan sekolah bonafid mengakibatkan siswa miskin tidak mampu memperoleh pelayanan yang maksimal. Persoalan lainnya, sekolah bonafid relatif mendapatkan siswa yang mempunyai intelektual di atas rata-rata, karena banyak peminat sehingga mudah mencari calon siswa, hal ini akan memudahkan dalam proses belajar mengajar. Beda dengan sekolah pinggiran yang selalu mendapat siswa miskin dan siswa yang relatif intelektualnya kurang.
Zakat 10%
Untuk memberikan pelayanan terhadap siswa miskin yang maksimal, maka perlu kiranya diberikan tanggung jawab kepada seluruh sekolah negeri untuk menerima siswa miskin yang berada di daerah sekitarnya. Mereka diterima tidak melalui tes, seperti penerimaan pada siswa berprestasi. Dan kuota mereka paling tidak 10% (sepuluh persen) dari jumlah siswa yang diterima. Bila ternyata siswa yang mendaftar lebih dari kuota yang dibutuhkan, maka sekolah berhak mengadakan tes anatar siswa miskin.
Dengan cara ini ada beberapa harapan yang ingin diwujudkan. Pertama, jumlah siswa 10% siswa miskin dicampur dengan 90% siswa yang lain, diharapkan membawa prilkau positif pada siswa miskin dan mampu mengikuti pola belajar siswa yang lain. Kedua. Jumlah 10% tidak terlalu memberatkan sekolah untuk memberikan berbagai fasilitas untuk menunjang belajar siswa miskin. Ketiga, siswa miskin diharapkan mampu mengembangkan  berbagai potensi yang dimilikinya karena mengikuti proses pembelajaran pada sekolah yang terpercaya (bonafid) dengan sarana yang relatif lebih baik. Keempat, berbagai persoalan dalam mendidik siswa miskin adalah keilmuan yang perlu juga dirasakan oleh sekola-sekolah bonafid. Kelima, harapan akhir adalah dengan cara-cara di atas, siswa miskin diharapkan mampu berubah menjadi generasi yang memotong kemiskinan yang sedang ia rasakan karena telah dibekali berbagai kemapuan.
Cara lain yang juga perlu dipikirkan adalah bagaimana cara yang tepat agar siswa miskin yang sudah kadung atau memang memilih masuk pada sekolah-sekolah pinggiran dapat melanjutkan pada sekolah bonafid yang berada di jenjang lebih atasnya? Selama ini muncul anggapan di masyarakat bahwa SMA bonafid hanya mampu diisioleh SMP bonafid. Anggapan ini membuat beberapa siswa nekad berjubel antri daftar di sekolah bonafid. Hampir rata-rata siswa yang merasa memilki kemampuan lebih memilih pilihan pertamanya di sekolah bonafid, trutama dari tingkat SMP ke tingkat SMA, walaupun di depan rumahnya sendiri ada SMP.
Maka untuk menghilangkan kesenjangan tersebut, perlu pula sekolah-sekolah negeri bonafid untuk memberikan peluang tanpa tes kepada siswa berprestasi akademik. Misalnya yang mampu meraih rengking satu samapi rengking lima. Kriteria rengking dibuktikan dengan prestasi yang ada di Buku Raport. Cara ini akan membuat sekolah-sekolah pinggiran atau siswa miskin tidak harus masuk sekolah bonafid, tapi cukup masuk pada sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Mereka akan terus berjuang meraih prestasi sebaik mungkin agar dapat memasuki sekolah bonafid.
Begitupun untuk lembaga sekolah, ada kemungkinan sekolah-sekolah pinggiran diminati oleh siswa-siswa yang mempunyai kemampuan lebih karena mereka tertarik untuk mencari rangking satu sampai lima dengan persaingan yang relatif mampu dimenangkan oleh mereka. Bagi sekolah negeri penerima, siswa yang mempunyai rengking satu sampai lima yang terjaring, dipastikan siswa terbaik pada sekolah asal yang mempunyai cara dan kemampuan belajar yang lebih baik dari siswa lainnya. Maka ketika mengikuti proses pendidikan di sekolah penerima, siswa akan mudah beradaptasi.
Tidak sepertiyang sekarang kita lihat. Siswa-siswa berkemampuan tinggi terkonsentrasi pada sekolah-sekolah bonafid bahkan merupakan penyuplaitertinggi pada sekolah-sekolah bonafid pada tingkat berikutnya.
Perlu Pengawasan
Program husus siswa miskin ini bila saja dilaksnakan, maka perlu adanya lembaga pengawas. Paling tidak untuk memecahkan berbagai kendala yanag dihadapi oleh sekolah dalam pelaksanaan pendidikan terhadap siswa miskin. Selain itu sebagai lembaga pengawas terhadap jalannya program tersebut. Betulkah siswa miskin telah diperlakukan sesuai dengan kondisinya yang husus, atau malah sebaliknya. Juga pemantauan terhadap berbagai kendala yang berada di luar siswa miskin yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar.
Diharapkan lembaga ini juga mamapu menjadi lembaga permanen yang peduli terhadap kemajuan siswa miskin di Kota Cirebon sampai meraka berhasil lulus dalam berbagai jenjang pendidikan. Diniati karena menjalankan perintah Allah juga menjalankan wasiat Kanjeng Syeikh Syarif Hidayatullah yaitu “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin”., idelanya program dan gagasan tersebut layak dipikirkan.
Munib Rowandi Amsal Hadi
PKS Kesiswaan SMP 6 Kota Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar