Rabu, 19 Oktober 2011

PENCITRAAN ALIRAN SESAT PERLU AKADEMISI



Belakangan ini, masyarakat wilayah tiga Cirebon sangat meminati informasi tentang aliran-aliran yang dianggap sesat. Hidup Dibalik Hidup (HDH), Mullah Ibrahim, Surga Adn, pernah juga menduga wahidiyah, dan lairan-aliran lainnya yang selama ini menjadi sajian berita.
Yang menjadi persoalan, hampir setiap kali berita tentang aliran sesat muncul, yang lebih cepat bereaksi biasanya adalah  pemerintah, baik pemerintah di tingkat paling bawah mapun pada tingkatan yang lebih tinggi, alasannya untuk menanggulangi keresahan masyarakat. Dan langkah tersebut selalu mendapat apresiasi positif dari masyarakat.  Kecepatan langkah  pemerintah dipandang sebagai langkah yang peka dan tanggap terhadap persoalan.
Selain pemerintah, yang tak kalah cepat bertindak adalah organisasi keagamaan. Dengan dalih menegakkan syariat Islam, mereka maju digaris depan. Bahkan bila perlu masyarakat dilibatkan untuk memenuhi gerakan-gerakan mereka. Maka ciri dari gerakan kelompok ini adalah   gerakan massa.
Selain itu, ada juga organisasi keagamaan yang bersifat kepemerintahan yaitu MUI. Majlis Ulama Indonesia juga sangat cepat bahkan agresif ketika muncul berbagai aliran-aliran baru yang dianggap sesat. Seakan menjadi tangungjawab tungalnya,  MUI bukan hanya mempermasalahkan dan menanyakan berbagai persoalan, tapi sekaligus juga mengeluarkan  fatwa (keputusan hokum). Organisasi ini memang  sering memberikan berbagai tanggapan dengan fatwa.
Departemen Agama sendiri, sebagai lembaga yang semestinya mempunyai kepentingan yang lebih tinggi, biasanya bertindak dengan terlebih dahulu melihat gelagat. Bertindak lebih hati-hati atau malah dengan rasa takut. Terkesan mencari aman, dan sering menampilkan sikap yang seumumnya.  Yang aneh lagi, kadang semua elemen melakukan lankah yang hampir sama, yaitu mengadili dan mencecar pengakuan. Maka yang muncul justru bukan menyelesaikan masalah,  malah mengkroyok (justifikasi).
Dari berbagai penangan kasus yang dilakukan dengan cara-cara tersebut, selain kadang menimbulkan sikap anarkis, juga penyelasaiannya tidak mengakar dan mendalam. Mereka menilai persoalan dengan tidak obyektif, karena   parameter yang dipergunakan adalah parameter yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah penuduhan dan dominasi.
Perlindungan Hukum
Beragama, secara normative merupakan hak individu masyarakat dalam hidup benegara. Maka secara normative ekspresi keberagamaan seseorang sangat dilindungi oleh undang-undang. Untuk itu, menjadi persoalan mendasar dalam menangani kasus-kasus aliran yang dianggap sesat adalah mempertimbangkan hak-hak kebebasan beragama. Maka penanganannya haruslah secara kostitusional. Paling tidak, para penganutnya diberi kesemptan yang sama untuk memberikan informasi yang jelas, benar dan komprehensif. Dan yang lebih utama adalah berikan hak praduga tak bersalah.
Hak-hak itulah yang selama ini tampak tidak diberikan secara baik dalam menangani berbagai kasus keagamaan. Maka pemandangan yang sering terlihat adalah pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang mendasar yang dilakukan oleh orang-orang yang “mengaku beragama”. Hampir penanganan persoalan keagamaan lebih mengedepankan dominasi dan intimidasi. Dan seakan semua dilakukan “atas nama Tuhan”  atau “membela Tuhan”.
Indonesia sebagai Negara agamis, karena semua warganya wajib beragama, harus menyudahi cara-cara penyelesaian dengan cara-cara seperti itu. Yang paling mendasar dari kesalahan yang paling mencolok adalah pelanggaran  hak-hak keberagamaan yang semestinya telah menjadi kesepakatan bersama, yang telah dicantumkan dalam undang-undang dasar kita. Karena persoalan tersebut menyangkut nilai-nilai yang bersifat konstitusional, maka perlu diselesaikan secara konstitusional (hokum positif)
Hampir semua orang yang diduga sebagai penganut aliran sesat, baik perorangan maupun berkelompok, tidak pernah mendapatkan akses yang berimbang untuk menjelaskan kebenaran yang mereka fahami tentang kepercayaannya. Yang lebih dominan justru informasi-informasi dari luar dirinya dan bersifat propokatif. Sebagai contoh kasus aliran sesat Surga Adn. Hampir sebagian besar informasi, lebih dikedepankan pendapat orang-orang yang kontra dengan Pak. Tantowi. Pak Tantowi sendiri tampak tak diberi porsi yang sama untuk menjelaskan sikap-sikapnya selama ini.
Oleh karenanya, masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap dan berimbang. Agar penanganan keagamaan tidak mengandung unsure intimidasi dan pelanggaran hak-hak mendasar dalam mengekpresikan nilai-nilai keagamaan, selain perlunya mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan informasi, mendapatkan hak yang sama di mata hokum, terutama praduga tak beraslah, juga sistem hokum Indonesia harus memberikan kesempatan advokasi terhadap aliran-aliran yang diduga sesat.
Selama ini, para penganut aliran sesat, seakan orang yang salah sebelum ketuk palu dijatuhkan. Rumahnya dirusak. Orangnya ditempeleng bahkan ada sebagian yang mengusir dan merobohkan tempat ibadahnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama di masyarakat belum memiliki piranti hokum aplikatif untuk menangani persoalan keagamaan. Marah, merusak adalah bukan tindakan hokum. Lebih jauh lagi, pemerintah belum memiliki standar penyelesaian tentang aliran sesat, sehingga masyarakat melakukan langkah-langkah dengan caranya sendiri. Maka untuk memberikan layanan hak hokum yang sama, perlu diberikan advokasi (pembelaan). Advokasi diberikan agar penilaian lebih obyektif dan mendasar.
Libatkan Akademisi
Untuk proses penyelidikan dan pengumpulan data, kita perlu menyudahi dengan cara-cara yang selama ini kita lakukan. Karena hampir semua golongan yang ikut campur dalam penanganan masalah keagamaan berpijak pada parameter yang subyektif. Selain itu, kita juga harus menydahi kewenangan suatu organsasi untuk  menghukumi suatu aliran dengan meberikan keputusan hokum. Semua harus berdasarkan hokum yang berlaku. (hokum positif)
Maka untuk menggali informasi dan data sebagai bahan untuk diajukan pada pengadilan, saya kira sudah waktunya akademisi kita ikutkan. Atau malah harus dilakukan oleh akademisi. Akdemisi akan lebih obyektif dan independent. Dengan keangka keilmuan dan berfikir yang netral, akademisi akan lebih diterima oleh seluruh kalangan. Mereka akan menjadi mediator yang baik.
Banyak hal yang dapat kita pandang positif bila akademisi yang diberi kewenangan untuk menangani berbagai kasus aliran sesat atau keagamaan. Pertama, akademisi berperan untuk menggali berbagai data selengkap mungkin. Ia tidak memihak tapi obyektif. Hal ini memungkinkan semua pihak, terutama penganut aliran yang diduga sesat, tidak menaruh curiga, mampu mengungkapkan berbagai hal secara obyekytif dan komrehensif.
Selain itu, karena obyektyifitasnya, akademisi tidak akan terjebak pada keputusan sesat dan tidak sesat. Informasi yang digali lebih merupakan pencarian secara ontologism, epistimlogis dan aksiologis suatu aliran. Tidak sama sekali dalam rangka menentukan suatu aliran dianggap sesat atau tidak sesat. Kalau toh ahirnya data itu dipergunakan untuk menentukan apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak, tapi data itu sendiri telah dikumpulkan melalui cara yang memiliki standar obyektifitas.
Kedua, hasil penelitian dan penyelidikan yang didapat lebih mendalam dan komprehensip. Akademisi lebih terlatih untuk melakukan penelitian sehinga hasilnya lebih mendalam dan komprehensip. Hasil tersebut dapat memberikaan pencitraan suatu aliran dengan lengkap sehingga dengan tanpa pengadilanpun, masyarakat mengetahui dan dapat menentukan sikap tanpa harus melakukan tindakan anrkis.
Cara tersebut memang belum pernah diterapkan. Namun bukan berarti tidak bisa. Bahkan saya optimis dengan melibatkan akademisi akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih manusiawi dan lebih normatif. Lebih konstitusional dan lebih mendamaikan. Lebih memenuhi nilai-nilai dan harapan-harapan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih hakiki.


Penulis: Guru Agama Islam SMP Negeri 12 Kota Cirebon.



1 komentar: